PEMBUKTIAN SANTRI

PEMBUKTIAN SANTRI

Oleh: Rizquna Amelia Mifzal, Kelas X-L

Di suatu desa terdapat sebuah pesantren yang telah berdiri sejak tahun 1996 , sayangnya meski tempat itu telah berdiri sejak lama pondok tersebut belum terkenal di kalangan masyarakat bahkan di wilayah pesantren berdiri, para warga sekitar jarang sekali yang berantusias untuk mendaftar kan anak atau sanak saudara ke dalam pesantren karna mereka selalu melihat santri dengan sebelah mata yang membuat setiap keluarga, kerabat, tetangga yang masuk ke pondok selalu di remehkan bahkan tidak tertinggal juga para santri di pondok itu sendiri.

Di suatu hari, tibalah seorang Santriwati baru yang berasal dari Jakarta, ia di antar oleh kedua orang tuanya hingga pintu gerbang, setelah berpamitan dengan ayah bundanya, ia masuk ke dalam pondok baru nya untuk pergi ke kamar yang telah diberitahukan oleh salah satu pengajar yang mengampu disana kemarin. “assalamualaikum teman teman” sapa Sherina yang di sambut baik oleh teman teman nya “waalaikumussalam,kamu pasti santri baru itu ya? Nama kamu siapa? Sini aku bantu” sahut Mira yang mulai mendekati nya “halo aku Sherina, asal dari Jakarta” bibir Sherina melengkung membentuk senyuman, Mira membantu membawa barang Sherin lalu ia mempersilahkan teman baru nya itu untuk ber isitirahat di samping kasur yang telah di sediakan, mereka duduk sembari berbincang bincang yang diikuti juga oleh anggota kamar yang lain. Di tengah perbincangan mereka sebuah pengumuman terdengar dari musholla pondok “Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, pengumuman untuk para santriwan dan santriwati bahwasanya besok akan di adakan kerja bakti di lingkungan warga, jadi harap di persiapkan syukron katsiran” pengumuman berakhir “males banget ketemu warga” gerutu Mira “loh kenapa? Emang ga seru?” sahut Sherina “tunggu aja besok nanti kamu tau sendiri” tegas salah satu teman nya, Setelah membahas seputar pengumuman tadi perbincangan mereka pun berakhir.

Keesokan harinya ketika gemerlap Surya terpancar jelas para santiwan dan santriwati keluar dari lingkungan pondok dengan membawa alat kebersihan yang akan mereka gunakan untuk membersihkan lingkungan, baru saja mereka keluar dari gerbang pesantren para warga memberikan tatapan sinis kepada para santri namun hal itu tidak mereka hiraukan, para santri tetap menjalankan niat baik nya. Sherina menyapu daun daun jatuh yang berserak di jalanan “hallo ibu” kepada sekumpulan wanita paruh baya yang lewat di depan Sherina menyapu, sapaan itu membuat mereka mendekat “kamu pasti santri pondok sesat itu ya? Pasti kamu anak bodoh yang ga punya prestasi apa apa makanya masuk pondok” tukas salah satu dari mereka “saya sih ga mau masukin anak saya ke pesantren nanti masa depan nya jadi ga jelas kaya kamu” sahut bu Asih “maksudnya apa ya? Kenapa ibu mengatakan bahwa santri itu ga punya masa depan?” tegur Sherina yang tampak menahan kekesalan “kan emang bener santri tuh ga punya masa depan seperti kamu ini, udah lah ngomong sama anak bodoh itu cuman buang buang waktu kita aja, yuk ibu ibu kita lanjutkan perjalanan kita” mereka pergi meninggalkan Sherina, Tak lama Aisya datang menghampiri ia yang tengah berdiri dengan menatap punggung segerombol wanita paru baya yang semakin menjauh “untung aja masih bisa sabar, kalau aku ga sapu ini mungkin udah melayang” celetuk Sherina Aisya tersenyum tipis seakan ia tau maksud Sherina “ kenapa sih warga di sini kalau ngomong ga bisa di jaga, seumur umur aku tinggal di Jakarta ga ada orang yang omongan nya kaya mereka” protes Sherina “intinya aku bakal tunjukin ke mereka kalau santri itu ga seburuk apa yang mereka omongin!!” semangat Sherina membara walau masih tampak lelah “fighting kawan, aku tau kamu bisa”
sahut Aisya, setelah berbincang beberapa hal mereka pulang ke pondok pesantren karna kegiatan gotong royong telah usai.

Satu bulan berlalu, Sherina mendapatkan telepon dari sang ayah yang meminta ia pulang ke Jakarta selama beberapa hari untuk melanjutkan lomba yang belum sempat selesai serta kegiatan sosialisasi yang harus ia isi sebagai seorang duta, setelah menerima telepon tersebut ia bergegas pergi ke rumah ndalem untuk meminta izin kepada umi dan abah. “tok,tok,tok” pintu terketuk pelan yang membuat dirinya tak menunggu lama, pintu itu terbuka seorang lelaki muda yang memiliki paras tampan berada di tengah tengah pintu “assalamualaikum Gus” ucap Sherina dengan sopan “waalaikumussalam, Afwan ada apa ukhti?” tanya pemuda itu yang tidak lain adalah putra tunggal dari ndalem “kedatangan ana kesini ingin bertemu dengan umi dan abah” jawab Sherina dengan tatapan yang masih menunduk “silahkan masuk dulu, ana panggilkan umi dan Abi” pemuda itu pergi memanggil kedua orang tua nya yang sedang duduk di kursi ruang makan “abi, umi ada tamu yang ingin bertemu” panggil Pemuda tersebut yang membuat kedua orang tuanya beranjak dari tempat duduk dan pergi ke ruang tamu untuk menemui tamu yang di maksud “ada apa ndo?” tanya umi sembari mendekati Sherina “Sherina ingin meminta izin kepada umi dan abah, Sherina mau pulang ke Jakarta sekitar satu Minggu untuk mengikuti lomba tingkat nasional yang belum selesai juga ingin mengisi sosialisasi di salah satu sekolah disana apa Abah dan umii mengizinkan?” ia menjelaskan secara mendetail dan berharap mereka akan mengizinkan nya pergi “pasti kami izinkan toh ndo, kamu ke Jakarta sama siapa?” tanya abah “ayah dan bunda akan datang sebentar lagi untuk menjemput ba” balas Sherina “kami izinkan ndo, nanti kita akan mengadakan doa bersama untuk kelancaran lomba kamu, juga sampaikan salam kami kepada kedua orang tua mu” sahut Bu nyai “terima kasi umi, Abah” Sherina berpamitan lalu menyalami tangan mereka dan pergi untuk berkemas. Selang dua hari kemudian tepat pada jadwal perlombaan Sherina , para santri pondok pesantren mengadakan doa bersama untuk kelancaran lomba tersebut. Tiga jam kemudian perlombaan itu selesai, para peserta menunggu pengumuman kejuaraan dan tanpa di sangka Sherina mendapatkan juara satu science tingkat nasional yang pengumuman nya di tampilkan di acara berita televisi dan di ketahui oleh guz Syarif , melihat hal itu ia langsung memberitahu kedua orang tua nya “abi, umi salah satu santri kita bisa juara internasional!! Dan ternyata dia juga seorang duta terkenal di Jakarta” ia terlihat sangat senang sembari melihat wajah Sherina dari layar televisi “sudah umi tebak, semoga saja dengan hal ini dapat mengubah pemikiran negatif masyarakat tentang santri” sahut umi yang membuat suami dan putra nya mengangguk tersenyum.

Satu minggu kemudian Sherina datang ke pesantren lalu menemui umi dan abah untuk mengucapkan terimakasih serta buah tangan yang ia bawa jauh dari Jakarta “assalamualaikum, umi Abah” sapa Sherina yang berjalan semakin mendekat ke arah mereka yang tengah duduk di halaman rumah “waalaikumussalam, eh ndoo, kamu sudah pulang toh? Selamat ya kami bangga dengan mu” cetus Bu nyai dengan raut gembira “terimakasi ini semua juga berkat umi dan abah yang telah mendoakan” Sherina menyalimi tangan mereka “silahkan masuk dulu ndoo, ga enak kalau ngobrol di halaman” abah mempersilahkan nya untuk masuk ke rumah tanpa jawaban apapun Sherina mengikuti mereka yang berjalan di depannya “umi abah kedatangan Sherina disini ingin meminta izin untuk mengajari anak anak di jalanan dan juga anak anak warga komplek disini setiap pulang sekolah” izin nya dengan sopan “kamu yakin ndoo? Kamu tau kan gimana sikap warga disini?” sahut umi yang ingin memantapkan hati Sherina “yakin Bu” jawab nya dengan semangat “yauda, kami bakal dukung keputusan kamu  karena itu niat yang sangat baik, semoga dengan ini ilmu kamu bermanfaat dunia akhirat ya ndo” sahut abah “makasi bah” ia terlihat sangat bahagia karna keputusan nya telah di setujui, perbincangan mereka berakhir Sherina berpamitan untuk kembali ke kamar. Mulai hari itu setiap jam sekolah telah usai ia selalu pergi menemui anak anak jalanan dan anak para warga untuk belajar bersama di taman yang di temani dengan Gus Syarif, mereka mengajar dari mulai ilmu membaca, menghitung, mengaji serta pelajaran agama yang membuat nilai para anak warga meningkat.

Satu bulan kemudian Sherina mendapatkan undangan untuk mengisi sosialisasi di kantor desa yang akan dihadiri oleh para warga di temani Gus Syarif, mereka berangkat pukul 07.00 wib, saat mereka sampai, telah banyak warga yang berkumpul dan duduk di kursi yang telah di sediakan “ibu, bapak sosialisasi akan dimulai sebentar lagi ya” ujar pa kades saat Sherina melangkah maju ke depan para hadirin “loh?!! Jangan bilang dia yang ngisi sosialisasi kali ini?!dia itu cuman santri yang ga tau apa apa dia tuh orang bodoh!!”bentak Bu Sinta dengan posisi berdiri “eh Bu jangan seenaknya ya, ibu tau ga dia itu duta pendidikan terkenal di Jakarta kemarin dia masuk berita sebagai pemenang science internasional bahkan dia seorang pemenang banyak lomba!!maksud ibu apa ya ngatain santri itu bodoh? Apa ibu ga sadar negara yang ibu tinggali sekarang ga mungkin bakal merdeka kalau ga ada santri yang berjuang melawan para penjajah dahulu kala bahkan masjid yang biasa buat kita sholat kalau tidak ada para santri pembangunan masjid itu bakal selesai lama! lingkungan komplek karna ada mereka kebersihan selalu terjaga, satu lagi anak anak disini mereka belajar sampai bisa berhitung, mengaji dan lain lain karna mereka berdua yang ikhlas ngajarin setiap pulang sekolah, masih mau ibu ngatain santri itu ga berguna !!? awalnya juga saya seperti ibu tapi lama kelamaan saya sadar akan banyak nya hal yang ada di sekeliling saya” sahut pa Hendra yang tidak terima akan perkaibu Sinta “alah masa orang kaya mereka berguna, jujur saya ga percaya si, udah saya pulang aja males dengerin sosialisasi dari kalian” Bu Sinta melangkah ke pintu keluar ruangan lalu sosialisasi tersebut dimulai.

Di suatu hari tibalah ketika Sherina sedang berjalan untuk pergi ke taman ia melihat Bu Sinta yang akan menyeberang namun ia melihat ada kendaraan roda dua melaju dengan kecepatan kencang, ia segera berlari kencang untuk menyelamatkan Bu Sinta yang hampir tertabrak oleh kendaraan tersebut “kamu?kenapa kamu masih mau menyelamatkan saya padahal kemarin saya mencerca kamu?”tanya Bu Sinta dengan mata yang berkaca kaca“ sebagai sesama manusia sudah sepantasnya kita saling menolong entah kepada siapapun itu” sahut Sherina dengan tersenyum “terimakasi ya atas pertolongan kamu ini, maaf sekali atas ucapan ucapan saya” ujar Bu Sinta “iya Bu lupakan saja hal yang kemarin saya sudah memaafkan ibu sejak lama” balas Sherina yang membuat para warga yang menyaksikan terharu dengan jawaban nya dan mengubah pandangan para warga tentang santri, sejak saat itu pondok pesantren Sherina menjadi lebih terkenal karna banyak nya jumlah para santri baru yang masuk dan juga banyak nya santri santri yang berprestasi sesuai bakat yang mereka miliki masing masing.

VAKSINASI, FOBIA JARUM SUNTIK, DAN KERINDUAN BERSEKOLAH

Oleh: Dewi Nur Aghni Azzahro

Langkah kaki Ulia Rahmania terhuyung ketika menuju ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) di MAN Kota Tegal, Selasa (4/8/2021) pagi. Sebenarnya, siswa kelas XII MIPA 5 tersebut sudah sarapan nasi bungkus dengan lauk lele goreng plus sambal. Tapi kakinya seakan lemas tak berdaya ketika harus masuk ke ruang UKS yang menjadi tempat berlangsungnya vaksinasi siswa.

Ulia memang ciut nyali setiap kali berhadapan dengan jarum suntik. Sejak kecil, dirinya tak pernah mau disuntik oleh dokter. Namun, pagi itu, gadis berusia 16 tahun tersebut harus melawan rasa takutnya dengan jarum suntik demi menjalani vaksinasi jenis sinovac untuk pencegahan virus Corona ini.

Ketika dokter menghujamkan jarum suntik berdiameter 0,05 inchi ke lengan kirinya, sebenarnya Uliaingin beteriak sekeras-kerasnya. Tapi dia menahan hasratnya itu sekuat tenaga. Ulia tak ingin kehilangan muka di depan dokter yang menyuntiknya. Ia juga tidak mau menanggung malu jika teriakannya sampai didengar siswa-siswa lain yang mengantre di luar ruang UKS.

Hanya, Ulia tak bisa menyembunyikan wajah pucat pasinya. Matanya dipejamkan erat-erat. Sesekali Ulia menggertakkan gigi sambil menahan fobia akan jarum suntik. Hanya itu bisa dia lakukan untuk menenangkan diri, padahal hatinya terasa sedang dilempar granat.

“Sebenarnya takut, tapi kalau tidak vaksin, nanti enggak sekolah-sekolah,” ujar Ulia dengan polos.

Ulia dan siswa-siswa MAN Kota Tegal lain menyelipkan harapan besar ketika menjalankan vaksinasi itu. Mereka yakin vaksinasi ini merupakan jalan awal bisa kembali bersekolah dengan pembelajaran tatap muka (PTM). Hampir dua tahun lamanya, Ulia dan siswa lain di MAN Kota Tegal, bahkan di seluruh Indonesia, tak bisa menjalankan PTM secara normal. Musibah penyebaran virus Corona yang mematikan itu menghentikan kegiatan PTM.

Vaksinasi dosis pertama bagi siswa MAN Kota Tegal dilaksanakan selama 2-4 Agustus 2021. Sebanyak 369 dari 1.180 seluruh siswa MAN Kota Tegal telah mendapat vaksin dosis pertama. Dengan vaksinasi ini, diharapakan meningkatkan kekebalan dan daya tahan tubuh sehingga tidak mudah diserang Covid-19.

“Semua guru telah divaksin, kini giliran siswa. Jika semua siswa dan guru selesai divaksin, harapannya tentu PTM bisa dilaksanakan secepatnya,” jelas Wakil Kepala MAN Kota Tegal bagian Kurikulum, Turati, M.Si.

Ya, rindu sekolah. Begitulah ungkapan perasaansebagian besar siswa MAN Kota Tegal. Para siswa ini mengaku sudah bosan dengan pembelajaran daring dan ingin sesegera mungkin diadakan PTM. Karena bagi mereka, secanggih apa pun media dan model pembelajaran daring, tetap tidak bisa lebih leluasa dibandingkan pembelajaran tatap muka. Siswa-siswa tersebut juga tidak bisa berinteraksi dengan langsung dengan guru maupun teman-teman.

Salah satu siswa yang mengalami kendala saat pembelajaran daring adalah Nurul Faradilah. Siswa kelas XII MIPA 5 ini harus keluar rumah, berlari ke sana ke mari demi mengakses sinyal internet ketika mengikuti pembelajaran secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting.

“Mungkin teman-teman yang lihat saya tertawa saat itu, karena waktu pelajaran pakai Zoom saya terlihat lari-lari keluar rumah. Susah sih sinyalnya. Untung gurunya enggak lihat dan tidak terlalu memerhatikan saya,” kenang Faradilah.

Sejumlah sekolah di Kota Tegal, termasuk MAN Kota Tegal, sebenarnya telah beberapa kali menjalankan uji coba PTM selama Pandemi Covid-19 ini. Uji Coba PTM Tahap I dilaksanakan pada April dan Tahap II dilaksanakan sebulan kemudian.

Protokol kesehatan (Prokes) pun diterapkan secara ketat pada Uji Coba PTM Tahap I dan Tahap II. Semua guru dan siswa diwajibkan mengenakan masker, serta diharuskan mencuci tangan menggunakan sabun atau memakaihand sanitizer sebelum masuk kelas. Setiap siswa dan guru yang hendak masuk ke lingkungan sekolah diperiksa suhu tubuhnya oleh Tim Gugus Pencagahan Covid-19. Pembelajaran pun dilaksanakan secara singkat hanya sekitar dua jam per harinya dengan jumlah siswa terbatas yakni maksimal 18 orang per kelas.

Uji Coba PTM Tahap I dan Tahap II berjalan lancar dengan mendapat pantauan ketat dari pihak Dinas Kesehatan Kota Tegal. MAN Kota Tegal sempatmendapat lampu hijau untuk melaksanakan uji coba PTM Tahap III. Namun, rencana Uji Coba PTM Tahap III yang sedianya dilangsungkan awal tahun ajaran baru, Agustus ini, menjadi berantarakan. Kasus Covid-19 yang kembali meningkat pada Juni dan Juli lalu membuat pemerintah kembali menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara darurat. Kegiatan KBM bagi siswa di seluruh Indonesia sontak kembali dilangsungkan secara online.

“Sebenarnya bukan hanya siswa yang rindu sekolah, tapi guru juga rindu mengajar murid-muridnya secara langsung. Ya mari berdoa agar semua ini segera berakhir. Selain berdoa kita juga wajib berikhtiar, salah satunya dengan vaksinasi,” ujar guru Bahasa Indonesia MAN Kota Tegal, Retnowati, S.Pd.

AYAM BAKAR DAN MARTABAK MANIS, WUJUD TOLERANSI DI TENGAH PANDEMI

Caption: Rumah keluarga Rakim (paling kiri) bercat hijau, hanya berjarak beberapa langkah dari kediaman Rahayu Dwi Martani (dua dari kanan) dengan gerbang coklat di Jl Imam Bonjol RT 1/RW 16, Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Foto diambil 20 Juli 2021.

Oleh: Hanun Aishy Marwa

Ketika langit tampak kemerahan dan azan maghrib mulai berkumandang, seorang perempuan paruh baya mengayunkan kaki mendekati sebuah rumah bercat hijau. Rambutnya lurus. Usianya 45 tahun. Dia kemudian mencantolkan kantong plastik di ujung pagar besi rumah bercat hijau tersebut.

Tak sampai hitungan menit, perempuan tersebut bergegas meninggalkan lokasi itu. Ia lalu kembali ke kediamannya yang jaraknya hanya lima meter dari rumah bercat hijau tersebut. Tangannya lantas dengan sigap merogoh ponsel dari saku bajunya lalu mengirim sebuah pesan pendek kepada kepala keluarga yang menghuni rumah bercat hijau tadi.

“Ada makanan di pintu gerbang. Silahkan dimakan. Semoga lekas membaik,” tulis perempuan tadi.

Perempuan tersebut adalah Rahayu Dwi Martani. Ibu dua anak yang sehari-harinya berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit di Kota Tegal ini sudah seperti saudara bagi keluarga Rakim, si empunya rumah bercat hijau. Padahal, kedua keluarga ini tidak ada hubungan kekerabatan sama sekali. Mereka bahkan berbeda keyakinan. Keluarga Rakim beragama Islam. Sedangkan keluarga Dwi dan suaminya Aris Kusmayadi memeluk agama Kristen.

Tapi perbedaan itu tak menjadi penghalang bagi kedua keluarga ini untuk hidup rukun nan harmonis dalam bertetangga di Jl. Imam Bonjol No. 10 RT 1/RW 16, Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Seperti yang ditunjukkan Dwi pada Sabtu (17/07/ 2021) petang tersebut.

“Anak-anak, ini ada kiriman ayam bakar dari Budhe Dwi. Ayo dimakan,” ujar Rakim setelah membuka bungkusan kertas minyak dari kantong plastik kirimkan Dwi. Ketiga anak Rakim pun lantas menyantap ayam bakar itu dengan lahapnya.

Saking dekatnya, ketiga anak Rakim dan istrinya Hemi Astuti memanggil Dwi dengan panggilan “budhe”. Dalam Bahasa Jawa, Budhe berarti kakak perempuan dari ayah atau ibu.

Budhe Dwi mungkin sudah puluhan, bahkan ratusan kali, mengirimi makanan kepada keluarga Rakim. Tapi kiriman-kiriman makanannya pada pertengahan Juli kemarin benar-benar sangat berarti bagi Rakim sekeluarga yang sedang menjelani isolasi mandiri karena virus Corona.

Rakim sekeluarga harus menjelani isolasi mandiri setelah ibunya, Ratimah, meninggal dunia karena dinyatakan positif Covid-19 pada awal Juli lalu. Sebelum diketahui terpapar Covid-19, almarhumah Mbah Mah, sapaan Ratimah, sempatdirawat di rumah Rakim selama kurang lebih dua pekan. Setelah Mbah Mah meninggal dunia, ujian bagi keluarga Rakim ternyata masih berlanjut. Rakim sekeluarga harus menjalani isolasi mandiri.

Hasil pemeriksaan medis menunjukkan Rakim mengalami positif Covid-19. Sedangkan istri dan ketiga anaknya negatif Covid-19. Namun, seluruh keluarga diminta untuk isolasi mandiri selama kurang lebih 14 hari.

Dalam proses isolasi mandiri ini, para tetangga bersedia mencukupi kebutuhan makan dan minum keluarga Rakim. Salah satu yang menunjukkan perhatian besar adalah Dwi. Selain membawakan lauk pauk, Dwi dan suaminya Aris Kusmayadi, serta kedua anaknya, juga beberapa kali mengirim camilan seperti martabak manis.

“Mereka [Dwi sekeluarga] juga memberikan alat saturasi pernapasan dan membelikan vitamin-vitamin. Menyediakan dua tabung oksigen di saat krisis oksigen terjadi di berbagai daerah termasuk di Tegal. Bahkan hampir tiap jam menanyakan kondisi kesehatan kami sekeluarga lewat ponsel selama kami isolasi mandiri,” ujar Rakim yang sehari-hari bekerja sebagai guru ASN ini.

Perhatian besar para tetangga lainnya itu membuat Hemi, istri Rakim menjadi terharu. Dia sebelumnya merasa waswas keluarganya akan dijauhi masyarakat jika mereka tahu suaminya positif terpapar Covid-19. Namun, kekhawatiran itu nyatanya tidak terbukti karena perhatian besar dari para tetangga, termasuk Dwi yang berbeda keyakinan.

“Pikiran saya sudah ke mana-mana ketika kami semua harus diisolasi mandiri. Mau cari makannya gimana? Terus juga kepikiran apakah tetangga pada mau membantu? Ternyata bantuan mereka sangat luar biasa. Bu Dwi orang pertama yang menyetok kebutuhan kami,” ungkap Hemi.

Toleransi antarumat beragama di Mejasem Barat sangatlah tinggi. Tak hanya ditunjukkan dengan berkirim makanan, mereka juga saling mengirim ucapan selamat ketika masing-masing merayakan hari besar keagamaan.

“Kalau Natal kami ke rumah Budhe Dwi, sebaliknya juga Budhe Dwi selalu datang ke rumah kami dan membawa kue-kue saat kami merayakan Lebaran,” ujar Hemi.

Ketua RW 16 Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Budiono, mengatakan toleransi di lingkugannya sangat terjaga selama ini, bahkan selama Pandemi. Perhatian dan kepedulian terhadap sesama dilakukan warga terhadap keluarga yang menjalani isolasi mandiri karena pandemi.

“Tidak peduli agamanya apa, semua masyarakat saling membantu. Di sini, praktik toleransi dan moderasi beragama sangat tinggi. Pandemi tidak bisa menghentikan toleransi dan moderasi beragama bagi masyarakat di sini. Bahkan semakin solid,” jelas Budiono.

PUPUT DAN PERUBAHAN KARAKTER SEJAK PANDEMI

Tak ada seorang pun yang pernah menyangka bahwa dunia akan berubah begitu drastis bak membalikkan telapak tangan. Pandemi Covid-19 yang mewabah dunia mengubah cara-cara hidup baru umat manusia. Virus yang berasal dari Kota Wuhan itu seakan-akan membuka mata dunia bahwa umat manusia perlu beradaptasi dengan cara-cara baru dalam menjalani kehidupan. Entah itu sektor ekonomi, pemerintahan maupun pendidikan. Bahkan karakter manusia pun ‘dipaksa’ berubah.

Pagi itu, sekitar pukul tujuh pagi, Puput bergegas keluar dari kamar menuju teras rumah. Ada tumpukan-tumpukan buku yang dibawa tangan kanannya, dan sebuah gawai keluaran tahun 2010-an yang berada digenggaman tangan kirinya. Di teras itu, gadis berambut ikal ini beradaptasi dengan cara belajar baru sejak pandemi Covid-19 mewabah negeri ini. “Di teras sinyal lebih stabil,” kata perempuan usia 16 tahun itu, Sabtu (15/8/2020).

Tampkanya Puput begitu antusias mengikuti pembelajaran daring melalui e-Learning. Materi-materi yang diberikan guru diperhatikan dengan seksama. Tugas yang diberikan pun ia selesaikan dengan penuh ketelitian layaknya seorang pembuat anyaman. Sesekali ia meletakkan gawainya untuk memberikan jeda istirahat kedua matanya yang belok. Secangkir teh hangat menemani setiap pagi harinya. Begitulah cara Puput menikmati pembelajan berbasis internet sejak pandemi.

Belajar menuju arah yang lebih baik itu banyak pintu, banyak jalan, dan dapat dari hal apapun, termasuk belajar dari pandemi Covid-19. Puput, ramaja usia belasan tahun itu, awalnya tak punya kebiasaan menabung. Pandemi mengajarinya bahwa kebutuhan hidup itu harus dipersiapkan karena hal-hal tak terduga dapat muncul kapanpun diluar rencana umat manusia. “Sejak pandemi ini, saya semakin sadar pentingnya menabung,” terangnya.

Kebutuhan akan kuota internet yang meningkat tajam dari 100 hingga 200 persen untuk kebijakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), memaksa dirinya untuk mengubah karakternya menjadi rajin dan gemar menabung. Apalagi usaha orang tuanya juga terdampak begitu drastis sejak pandemi berlangsung. “Saya mulai latihan menyisihkan uang jajan untuk memenuhi kebutuhan kuota sendiri. Kan, kondisi ekonomi orang tua sedang terpuruk,” ujar siswi kelas XII itu.

Ya, Puput adalah satu dari sekian banyak pelajar di negeri ini yang berusaha sekuat tenaga untuk menikmati pembelajaran daring dengan segala keterbatasannya. Ia memiliki cara pandang sendiri untuk memotret sebuah peristiwa. Pada akhirnya, pandemi tak hanya mengubah cara hidup umat manusia, tapi juga memaksa untuk memiliki karakter yang lebih positif.

Penulis: Serly Alia Putri, Siswi Kelas XII IPS 5

NOKTAH ITU BERNAMA DINDA

“Es… es… es… es…Pak, Bu, Mas, Mbak…”

Di sebuah sudut kota Tegal, seorang perempuan usia belasan tahun tampak sedang mengusap keringat yang menetes dari wajahnya. Parasnya tampak kusam. Sesekali ia memanggil-manggil orang yang lalu-lalang sembari menunjuk deratan minuman yang ada dihadapannya. Saat itu, jarum jam dinding tepat menunjukkan pukul satu siang.

Masalah selalu mewarnai kehidupan dengan caranya sediri untuk menguji manusia. Pengorbanan pun harus dicurahkan sekuat tenaga untuk menghadapinya. Sikap mengeluh tidak akan mengubah apapun. Semangat dan kerja keraslah kuncinya. Prinsip inilah yang begitu disadari oleh Dinda (17), remaja RT 07 RW 07 Margadana Kota Tegal. Anak tiga bersaudara dari pasangan Yeni (40) dan Nur Rohman (45) itu rela bekerja sampingan untuk mengurangi beban orang tuanya.

Semenjak pandemi Covid-19 yang menjangkit tanah air pada Maret lalu, pendapatan orang tua Dinda sebagai perantau tak menentu, bahkan menurun drastis. Penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari benar-benar terdampak. Jangankan untuk pemenuhan kebutuhan satu pekan ke depan, untuk sekadar bertahan hidup pada hari itu saja sudah perlu cucuran darah. “Apapun patut disyukuri,” kata gadis bertubuh mungil itu, Sabtu (15/8/2020).

Bagi gadis seusianya, Dinda adalah sebuah noktah yang bergerak menjadi garis, sebuah bentuk geometri. Betapa pentingnya noktah itu. Saat melukis, kita akan memulainya dengan sebuah noktah di atas kanvas. Saat menggambar sebuah bidang, noktah akan menjadi titik awal bermulanya. Melalui noktah yang menjadi garis dan berkembang menjadi sebuah bidang, kita menyaksikan jajar genjang, lingkaran, kubus, segitiga, dan bahkan bumi yang kita injak ini.

Dinda adalah satu dari sekian anak usia sekolah di Bumi Pertiwi yang memilih jalur berbeda, memilih tetap berdiri meski pada masa pandemi. Ada dua beban berat di pundak ramaja kencur itu: belajar secara daring dan bekerja. “Seadanya tak apa meski menjadi penjaga warung es,” terang perempuan beriris cokelat itu. Tumpukan buku dan gawai jadul tertata rapi disamping tempat duduknya. Sembari menawari berbagai varian es yang dijualnya, Dinda sesekali memantau gawainya untuk memantau aktivitas pembelajaran di e-Learning sekolah. “Sulit dan lelah, tapi harus tetap dijalani dengan hati yang tulus dan mantap,” imbuhnya.

Dengan segala keterbatasan finansialnya, Dinda mengingatkan kita pada film “Say I Love You” garapan Faozan Rizal. Betapa pentingnya menyeimbangkan tanggung jawab belajar dan bekerja secara bersamaan di usia dini dalam menggapai mimpi dan meraih cita-cita.

Dinda begitu mencintai keluarganya. Tinggal berdua dengan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, perempuan berkulit sawo matang itu menjadi partner terbaik Atfal (11). Ditengah pandemi dengan belajar yang serba daring, Ia adalah fasilitator dan motivator terbaik adiknya. “Jika tak mampu memberikan manfaat kepada orang banyak, setidaknya kita mulai dari keluarga kecil ini,” jelasnya penuh penghanyatan.

Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas XII itu percaya bahwa dalam setiap masalah pasti ada jalan keluarnya meski membutuhkan sebuah totalitas pengorbanan untuk menghadapinya. Ia yakin, kerja kerasnya pasti membuahkan hasil yang baik. “Tak ada gunanya mengeluh,” pungkasnya.

Penulis: Risa Nurhaliza, Siswi Kelas XII IPS 5

JANGAN ADA ‘VAKSIN’ SPIRIT PANDEMI COVID-19

Siang itu, resonansi dari sudut-sudut bilik rumah warga muncul secara bersamaan. Semuanya membentuk sebuah harmoni yang semakin lama justru semakin menghadirkan keindahan. Rupanya jutaan pasang mata menyaksikan hal yang sama, melihat apa yang terjadi di Bandung. Ya, Indonesia menjadi tuan rumah Uji Klinis Tahap 3 Vaksin Covid-19. Presiden Joko Widodo menjadi ikon momen bersejarah itu. Ekspektasi warga layaknya snowball, semakin tayangan itu disaksikan, semakin besar harapan untuk bangkit dan terbebas dari pandemi yang menjangkit negara-negara di penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Di rumah kecil yang tak jauh dari jalan raya itu, seorang gadis belasan tahun menyaksikan apa yang menjadi headline di stasiun televisi lokal maupun nasional. Winda Pujianti Santoso namanya, mengamati secara seksama setiap jengkal yang terjadi di ruang-ruang Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Sebanyak 1.620 relawan mendarmabaktikan dirinya atas nama amal saleh kemanusiaan.

Tak ada satu negara pun di dunia yang sudah bersiap menghadapi pandemi ini, bahkan sekelas negara adikuasa sekalipun. Tak dapat dipungkiri bahwa vaksin Covid-19 itu menjadi barang superlangka yang begitu tak ternilai harganya untuk saat ini. Namun bagi Winda, begitu sapaan akrabnya, pandemi ini mengajari banyak hal. “Semakin sadar, betapa pentingnya selalu menjaga kebersihan dan kesehatan kapanpun dan dimanapun,” terang gadis berkacamata nan berparas ayu ini, Selasa (11/8/2020).

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan, tak terasa sudah hampir setengah tahun Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berlangsung di negeri ini. Siswi kelas XII IPS di salah satu sekolah negeri di Kota Tegal itu berharap, pandemi Covid-19 segera sirna dan bumi pulih kembali secara perlahan demi perlahan. Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) mulai digiatkan dan dikampanyekan secara terus-menerus dan konsisten. Namun, kelengahan personal maupun komunal yang membahayakan kesehatan diri sendiri dan orang yang jangan pernah dibiarkan.

Pandemi Covid-19 bukan hanya soal kesehatan, tapi juga tentang rasa kesadaran bahwa pendidikan anak adalah milik bersama. Betapa banyak orang tua yang selalu bersifat permisif terhadap perkembangan pendidikan anaknya, sehingga pendidikan hanya dibebankan kepada guru semata. Semua pihak baik pemerintah, guru, orang tua maupun masyarakat wajib terlibat didalamnya sebagai satu kesatuan yang untuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Bersama-sama bahu-membahu untuk menunaikan janji dan amanat kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. “Saat belajar serba daring, dukungan penuh dan motivasi dari orang tua begitu penting dan bararti,” jelas perempuan kelahiran Tegal 17 tahun silam.

Perkembangan teknologi yang begitu masif dan mendunia menjadi momentum yang tepat untuk para pelajar meningkatkan kompetensi dan menemukan cara belajar yang pas sesuai diri sendiri. Mewabahnya virus yang berasal dari Kota Wuhan itu ‘memaksa’ banyak pelajar untuk benar-benar melek teknologi tanpa terkecuali. Terlepas dari sisi negatifnya, teknologi akan menjadi begitu berdampak positif jika digunakan secara tepat dan oleh orang yang tepat pula. “Melalui internet, pintu pengetahuan terbuka luas dengan cara yang cepat dan lintas batas. Saya juga mulai belajar berbagai fitur atau aplikasi yang dapat menunjang pembelajaran,” paparnya.

Akhirnya semua mesti menyadari, betapa pentingya vaksin Covid-19 secara medis untuk mencegah atau menyembuhkan mereka yang terpapar. Namun, spirit ke arah yang positif dari pandemi ini jangan pernah hilang, dan jangan pernah disembuhkan menggunakan ‘vaksin’ apapun.

Penulis: Moh. Caesar Febriano S., Siswa Kelas XI IPS 2