SELENDANG KUNING MAE

***Ditulis oleh Keysha Almira Dofa Ramadhani

BRAKK!!

Suara pintu yang dihempaskan terdengar sangat jelas di telingaku. Dilanjutkan dengan suara bentakan dari Mama kepadanya. Aku yang memang sedang sibuk dengan urusanku sendiri tak peduli dengan apa yang terjadi. Aku berusaha menutup kedua kupingku menggunakan tangan. Jujur, aku benci rumahku sendiri akhir-akhir ini. Ya, dia memang belum lama ini berubah. Entah sikapnya, cara berpakaiannya, hingga kedekatanku dengannya pun berubah. Aku tidak tahu mengapa tapi itu membuatku sedikit kesal kepadanya. Tak jarang aku memarahinya yang berujung perdebatan diantara kita berdua.

“Dek, Ibu kan sudah bilang berulang kali, kamu harus rajin belajar. Aja mung dolan tok. Contoh Masmu itu. Rajin belajar.” kata Ibu dengan nada tinggi di luar kamarnya.

Terdengar tak ada jawaban dari dalam, Ibu pun membuka paksa pintu tersebut. Terlihat gadis dengan rambut tergerai sedang duduk dan menangis di lantai. Iya, dia adalah adik kandungku. Maesaroh namanya. Seorang gadis yang lihai dalam menari. Khususnya tari tradisional khas daerah kami, Tari Topeng Endel. Tetapi itu dulu. Karena kedua orang tua kami tidak ingin anaknya berkecimpung di dunia seni. Keduanya ingin aku dan Mae menjadi dokter. Karena mereka pikir kunci sukses adalah menjadi dokter. Maklum saja, kedua orang tuaku adalah orang kampung yang kolot mengenai kehidupan kota. Tentu saja aku sebagai anak yang patuh pun menuruti keinginan mereka. Bahkan, kini pendidikanku sudah sampai sarjana. Pintu menuju profesi impian semua orang itu kini sudah di depan mataku. Namun, sepertinya Mae tidak suka profesi pilihan kedua orang tua kami. Dari dulu, Mae bersikeras ingin menjadi penari. Itulah yang terus saja menjadi perdebatan diantara orang tuaku dan dirinya.

“Bu! Mae capek. Mas Ario diberi kebebasan buat keluar. Mengapa Mae tidak?” tanya Mae.

“Masmu itu pintar. Kamu itu berbeda dengannya. Kejar kakakmu. Belajar. Jangan main terus! Mau jadi apa kamu? Pengemis?” jawab Ibu dengan nada menyolot.

“Mae tidak main, Bu! Mae belajar menari di sanggar.”

“Sudah berapa kali Ibu bilang? Tidak ada Endel. Tidak ada seni. Ibu mau kamu sukses, Dek.”

“Dengan apa? Dengan belajar terus menerus? Mae tidak suka pelajaran IPA, Bu. Mae tidak mau menjadi dokter. Mae mau menari!”. Kemudian Mae menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam.

Ibu yang kesal karena Mae terus saja membangkang akhirnya memutuskan untuk pergi menuju dapur melanjutkan masakanmya yang tadi ditinggal. Aku berpikir sejenak, siapa yang salah di sini? Apa Ibu terlalu menekan Mae? Atau memang Mae yang membangkang dan tidak patuh kepada orangtuanya yang sudah pasti mengerti yang terbaik untuk masa depan anaknya? Entahlah. Kuputuskan untuk beranjak dari tempatku sekarang duduk dan berjalan ke luar rumah. Hanya mencari udara segar. Kebisingan yang tadi kudengar memberatkan kepalaku. Dalam benakku bertanya ‘kapan ini semua akan berakhir?’ Jujur saja, aku malu dengan para tetangga yang mendengarkan suara berisik dari rumah kami. Tapi bagaimanapun juga aku tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi di keluarga kecilku. Mengingat kepulanganku dari pendidikan perguruan tinggi barulah 3 minggu yang lalu. Kini, aku sedang menjadi co-assistant di rumah sakit dekat rumahku. Tanpa kusadari, sang bagaskara perlahan bergerak turun mulai menghilang dari permukaan. Aku pun bangkit dari kursi kayu yang sudah tua itu kemudian masuk ke dalam rumah.

Jam menunjukkan pukul 05:00. Aku bergegas memanaskan motor untuk pergi menuju rumah sakit tempatku belajar pendidikan profesi sebagai co-ass. Kulihat Mae keluar dari kamarnya dan melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Aku pun menyapanya. “Pagi, Bocil.” sapaku dengan senyuman selebar bulan sabit. Mae hanya membalasku dengan senyum di pinggir bibirnya. Pelik sekali. Ia seperti bukan Maesaroh, adik kecilku. Mae yang kukenal sangat tidak menyukai panggilan bocil yang kusematkan padanya. Ia akan merengek dan mencubit tanganku. Namun kali ini tidak. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Mae? Seseorang telah menyakitimu? Sungguh! Aku ingin mengetahuinya.

Hari ini, aku pulang cepat. Jam 7 malam, diriku sudah menginjakkan kaki di rumah. Tentu  saja kesempatan ini tidak kusia-siakan begitu saja. Aku mencoba mengetuk pintu kamar Mae bermaksud memberi kejutan padanya.

“Dek! Maesaroh cantik. Coba buka pintunya. Kakak bawakan sesuatu,” ucapku di balik pintu.

Cukup lama aku menunggu sampai akhirnya pintu kayu bertuliskan nama Maesaroh itu terbuka menampakkan Mae dengan setelan baju tidurnya. Tumben sekali dia menggunakan celana panjang. Biasanya dia akan kegerahan dan terus meminjam celana pendek milikku.

Sejenak matanya yang bersinar menatapku. Ia tersenyum dan tertawa. Menampakkan gigi gingsulnya yang cantik. Iya Mae. Ini adalah tawa darimu yang sangat kurindukan. Aku membawakan makanan kesukaannya yaitu martabak keju.

“Terimakasih, Mas! Mas selalu tau kesukaan Mae deh!” ungkapnya dengan mengambil plastik berisi martabak keju tersebut. Aku pun tersenyum lepas. Tetapi, pandanganku beralih ketika melihat darah menetes dari bawah celana adikku. Merasa aneh, aku tanyakan hal ini kepadanya, “Mae, kamu sedang datang bulan?”

Mae pun menjawab, “Hah? Tidak, Mas. Kenapa memangnya?”

“Lalu itu apa?” aku menunjuk ke arah lantai. Mae yang panik langsung berlagak aneh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirinya pun kemudian menangis. Aku berusaha menenangkannya dengan membawanya masuk ke dalam kamar.

“Ini kenapa? Mae sedang sakit? Coba Mas cek ya.”. Perlahan kugulung celana panjang Maesaroh. terlihat dengan jelas oleh kedua mataku paha Mae yang terluka. Banyak goresan benda tajam di sana. Darah pun sedikit demi sedikit menetes dari luka tersebut.

“Siapa yang berbuat ini, Dek?” tanyaku. Mae yang masih menangis menunjuk ke arah silet di atas meja. “Mae, Mas.”. Tangisnya seketika tumpah. Aku tahu. Inilah bentuk emosinya selama ini. Aku mencoba mengerti keadaan adikku. Aku pun mengelus punggungnya.

“Sebentar ya. Mas ambil Betadine dulu di kamar Mas. Tidak perlu takut. Mas akan kembali.” kataku sembari menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju kamarku. Tampak di luar kamar Mae, ada Papa yang terlihat bingung mengapa ada tangisan dari kamar anak perempuannya. Aku yang tak ingin kedua orang tuaku mengerti pun berusaha mengalihkan perhatian Bapak. Ketika beliau mulai terlaihkan dengan menonton televisi, aku pun bergegas mengambil Betadine dan plaster dari kamarku. Aku mulai meneteskan Betadine tersebut di luka Mae. Setelahnya, kupasang plaster di pahanya. Kupegang kedua tangannya, aku menguatkan diri untuk bertanya kepada Maesaroh.

“Kenapa melakukan ini, Dek? Ini kan berbahaya.” tanyaku dengan menatap kedua matanya.

“Mae lelah, Mas. Mae merasa tertekan selama Mas tidak ada di rumah. Mama dan Papa terus saja membanding-bandingkan kita berdua. Mae…” Ia berhenti menjelaskan dan kembali menangis tersedu-sedu. Kubelai rambutnya yang panjang dan hitam pekat itu. “Tidak apa-apa, Dek. Mas siap menunggu sampai kamu siap bercerita.” Bisikku di telinga kanannya.

Dugaanku benar. Mae yang masih remaja seharusnya diperbolehkan untuk melakukan  sesuatu yang ia kehendaki. Selagi hal tersebut positif dan bagus untuk mengembangkan skill yang ia miliki, kenapa tidak? Namun, kedua orang tuaku juga tidak sepenuhnya salah karena mereka memang ingin yang terbaik bagi anak-anaknya.

Mae pun mulai berhenti menangis dan menghapus air mata yang masih tersisa di pipinya. Ia berkata, “Mas tahukan Mae suka menari? Mae hanya ingin diberi kesempatan untuk itu, Mas.” Aku pun membalasnya dengan anggukan.

“Mae ingin Bapak dan Ibu mengerti keadaan Mae. Sukses itu kan bisa di bidang apa saja. Mengapa mereka hanya menganggap orang sukses adalah mereka yang berprofesi sebagai dokter?”, lanjut Mae.

“Mae tahu. Memang dokter adalah pekerjaan impian banyak orang. Namun, bukan itu yang Mae impikan. Mae lebih ingin untuk menjadi penari yang berhasil membawa Tari Endel lebih dikenal oleh masyarakat di luar sana,” kata Mae sambil melihat ke topeng Endel yang tergantung di dinding kamarnya.

Aku pun meneteskan air mataku. Begitu besar cita-citamu, Mae. Aku sangat kagum kepadamu. Di saat mereka di luar sana mendambakan profesi yang monoton dan terkesan biasa saja, kau tidak sekalipun terpengaruh dengan mereka. Impianmu membawa Tari Endel dari Kota Bahari menuju ketenaran sungguh menggetarkan hatiku. Kuambil satu dari kedua tangannya, kuletakkan di atas telapak tanganku seraya berkata, “Cita-cita Mae sangat mulia. Mas tahu perasaan Mae. Ini yang mengganggu Mae selama ini ya? Boleh Mas bilang Mae?”. Gadis itu pun mengangguk dan menatapku dengan dalam.

“Begini, semua orang pasti pernah melewati masa sulitnya. Mungkin ini giliran Mae untuk menghadapi itu. Mas paham betul. Dengan pemikiran Mae yang masih labil, emosi yang sering tak terkontrol, hingga perasaan yang tak menentu akan semakin menyulitkan Mae untuk menentukan sesuatu. Tetapi, Mas mohon dengan sangat. Mae harus mencintai diri Mae sendiri. Mae tidak boleh menyakiti diri sendiri. Karena bagaimanapun yang akan selalu ada untuk kita adalah diri kita sendiri. Mas yakin Mae bisa menghadapinya. Mas akan membantu untuk berbivata kepada Bapak dan Ibu.” ucapku berusaha meyakinkannya.

Tapi, Mae terlihat tidak senang dan malah menggelengkan kepalanya. Ia menjawab, “Jangan, Mas.” Aku yang bingung menaikkan alis dan bertanya, “Kenapa jangan, Mae?”. Mae hanya menunduk dan mengacungkan jarinya ke arah lemarinya. Aku pun bangkit dan membuka.

lemari tersebut. Kulihat selendang tari Mae yang sudah rusak seperti bekas tarikan. Aku yang semakin bingung pun bertanya kembali kepadanya, “Bapak dan Ibu?”. Ia pun mengangguk. Sejenak kuhela napas dalam dan kembali menanyakan, “Masih ada cerita lagi, ya?”. Suasana hening untuk sementara waktu. Perlahan Maesaroh membuka bibirnya.

“Mae pernah berbohong, Mas. Maaf. Mae tahu itu salah. Tapi saat itu Mae akan mengikuti perlombaan. Mae sangat ingin mengikutinya sampai Mae berani berbohong kepada Bapak dan Ibu.” kata Mae sembari merunduk.

Aku pun menariknya ke dekapanku. “Mas akan bantu, Mae. Kalau perlu nanti Mas yang belikan selendang baru untuk, Mae.”

“Terimakasih, Mas.” ucapnya dengan senyuman indah merekah di bibirnya.

Jujur saja aku belum tahu akan berbicara bagaimana kepada kedua orang tuaku. Mereka memang berkeinginan keras agar anak-anaknya menjadi seorang yang sukses. Semua orang tua pasti ingin begitu. Namun, mereka salah melangkah. Mereka terlalu bersikeras untuk itu semua. Sampai-sampai mereka tidak memerdulikan kesehatan mental Maesaroh yang semakin hari semakin buruk akibat tekanan tersebut.

Sudah cukup lama aku mengelus-elus rambut Mae sembari menidurkannya. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 22:00. Aku pun segera bangkit untuk kembali ke kamarku. Tak lupa kucium kening adikku dengan lembut. Setelahnya, kututup pintu kamar Maesaroh. Di luar, terlihat Papa dan Mama yang belum tidur masih menonton televisi. Perlahan kuhampiri mereka berdua. Dalam benakku berkata, aku siap untuk berbicara kepada kedua orang tuaku. Entah apa yang akan mereka ucapkan. Aku tak boleh gentar. Ini demi Maesaroh.

“Pak, Bu,” sapaku seraya duduk di sebelah Bapak.

“Eh, Mas. Durung turu?” tanya Ibu sembari membuka kulit kacang.

Dereng, Bu. Meniki Ma, Pak, kula badhe matur.” Jawabku dengan bibir yang hampar. Kakiku pun mulai membeku. Lantas kupegang dengan kedua tanganku agar getarannya tak terlalu kuat.

“Ohh. Ya wis pan ngomong apa?” kata Bapak.

Menika bab Maesaroh. Bapak lan Ibu ngertos kan Maesaroh remen njoget? Pangapunten nggih menawi kula terkesan mboten sopan. Nanging, Maesaroh dados tertekan amargi kekajengan Bapak lan Ibu.”

“Hah? Emange Adekmu kenangapa? Sing Ibu ngerti tah bocah kae saiki selak mbantah Ibu.” ucap Ibuku dengan nada yang ditinggikan.

Nuwun sewu, Bu. Maesaroh itu masih remaja. Menurut Ario, Mae berhak diberi kebebasan atas cita-citanya. Ario tahu kok memang dokter adalah profesi yang menjanjikan. Namun apa salahnya membiarkan Maesaroh untuk memilih jalannya sendiri?” jawabku dengan halus.

Bapak dan Ibu saling memandang. Tak ada percakapan di antara keduanya. Hanya saling menatap seperti berbahasa isyarat yang jelas tak kumengerti. Sampai akhirnya Bapak menoleh ke arahku dan bertanya, “Tapi Bapak karo Ibu kuwe pengen sing paling apik kanggo anak-anake, Mas.”

Dengan sedikit menghela napas, aku pun kembali angkat bicara. “Nggih, Pak. Ario lan Maesaroh ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas perhatian yang begitu besar kepada kami. Tapi, apa Bapak tahu soal kesehatan mental Maesaroh sekarang? Maesaroh terpuruk, Pak.”

“Apa dhewek terlalu kasar ya, Pak?” tanya Ibu dengan melihat ke arah Bapak. “Kayane iya, Bu.” jawab Bapak disertai anggukan kecil.

Keduanya menatap ke arahku. “Mae berubah gara-gara Bapak karo Ibu ya, Mas? Adekmu kuwi saiki sering dewekan ning kamar. Jarang metu. Ibu mikire emang bocahe bae sing saiki bandel. Tapi kayane disamping kuwe dhewek ya salah, Pak.” ucap Ibu sembari mencubit  kecil lengan Bapak.

Nggih pun, Bu. Mboten napa napa. Mulai hari ini, kita hargai keputusan Maesaroh. Kalau Bapak dan Ibu tahu, Adekku punya cita-cita yang mulia dan hebat. Ia ingin membawa nama Tari Endel untuk mengangkat Kota Tegal. Ia ingin Tari Endel dikenal banyak  orang.” balasku.

Bapak dan Ibu kembali saling bertatapan. Satu persatu mulai meneteskan air mata yang dinulai dari Ibu. Bapak pun merangkul bahu istrinya itu. Aku yang melihatnya pun ikut trenyuh dan tanpa sengaja air mata jatuh dari kelopak mataku. Aku sangat senang mengetahui mereka berdua akhirnya paham tentang kondisi Maesaroh saat ini. Mae, aku berhasil.

meyakinkan mereka. Aku pun kembali ke ranjang biru kesayanganku. Sungguh hari yang melelahkan. Siapa sangka kedua orang tuaku akhirnya luluh setelah kuberi tahu soal psikis adikku. Aku sangat bahagia. Tak sabar menunggu besok. Tak sabar melihat keluargaku kembali seperti dulu lagi.

Paginya, kubuka pintu kamarku. Kulihat Maesaroh sedang menonton televisi bersama Bapak dan Ibu. Mae pun melihat ke arahku. Begitu juga dengan kedua orang tuaku. Kemudian Mae berlari menghampiriku dan memeluk erat pinggangku. Aku yang bingung pun hanya tersenyum dan membalas pelukannya.

“Mas. Terima kasih. Mae sayang, Mas. Mas tidak pernah berbohong kepada Mae.” Satu kecupan berhasil mendarat di pipiku. Kubalas dengan cubitan kecil di hidungnya seraya berkata, “Tentu saja. Mas kan bukan pinokio.” Serentak seisi ruangan tersebut tertawa. Kulihat sebuah kotak di meja. Aku pun bertanya darimana asal usul kotak itu. Ibu terlihat malu. Aku semakin bingung. Kemudian Bapak memandang Ibu sebagai isyarat untuk menceritakan sesuatu kepadaku.

“Jadi, kotak ini berisi selendang kuning khas penari Endel lengkap dengan topengnya.” Aku mengernyitkan dahiku dan berkata, “Jangan bilang?” Bapak dan Ibu pun mengangguk.

Kata Bapak, “Itu milik Ibumu. Dia juga dulu penari. Bahkan Ibumu ini pemilik sebuah sanggar tari. Namun, karena dulu Tari Endel belum ramai peminatnya, ia terpaksa menutupnya dan merasa kecewa dengan dunia seni. Itulah alasan Ibu kurang yakin kalau Mae akan berhasil jika menjadi penari.”

Aku membuka mata lebar-lebar seakan tak percaya. Tetapi itu kenyataannya. Ah, aku mengerti mengapa Ibu sangat tak suka jika Adikku menarikan tari tradisional itu. Rupanya ini alasan dibalik itu semua. Syukurlah sekarang semuanya sudah jelas. Sebenarnya ini adalah harapanku sejak lama. Taka da rahasia di keluarga. Tentu hal-hal kecil hingga yang besar bisa kita lalui bersama.

Mae berjalan mendekati meja dan kotak itu. Dibelainya dengan penuh kasih selendang berwarna kuning tersebut. Matanya berbinar menatap kami bertiga. Mulutnya pun perlahan terbuka, “Bu, Pak, Mas. Mae janji. Suatu saat nanti, Mae akan membawa Tari Endel ke kancah dunia. Semua orang akan tahu kota kita. Tegal Keminclong Moncer Kotane.” Bisa kulihat api yang berkobar di matanya tanda semangatnya yang begitu tinggi.

Kami sekeluarga akan memegang ucapanmu Mae. Kami berharap besar kepadamu. Kelak nanti kau akan dikenal sebagai Maesaroh, sang legenda Tari Endel asal Kota Bahari.