WAYANG

***Ditulis oleh Keysha Almira Dofa Ramadhani

Terlihat dari kejauhan panggung megah yang berdiri di tengah tanah lapang. Rupanya, di tempat itu sedang digelar pagelaran wayang kulit. Ki Enthus dalangnya. Pagelaran berlangsung meriah. Antusias dan harsa para warga sangat menghibur sang dalang. Setelah pagelaran tersebut berakhir, Ki Enthus bergegas menuju mobilnya. Ada janji yang harus beliau tunaikan kepada murid-murid  di padepokan wayang kulit miliknya. Sesampainya di rumah, terlihat bocah laki-laki yang langsung menghampiri sang dalang. Bocah itu terlihat sangat bergembira ketika Ki Enthus sudah kembali.

“Alhamdulillah Bapak sampun mulih,” ucap sang bocah sembari mencium tangan Ki Enthus.

Iyo, cah. Jam telu aku pan ngajar. Ngko koen mangkat ya!” balas Ki Enthus seraya menepuk bahu si bocah.

Tak lama kemudian, Ki Enthus masuk ke dalam rumahnya yang bak istana bernuansa adat Jawa. Kemudian, sang bocah mengambil sepatu Ki Enthus untuk dibersihkannya. Ia gunakan bajunya sebagai lap sepasang sepatu tersebut. Walaupun banyak dari temannya yang mengejek, bocah itu tidak gentar. Karena sejatinya, jauh di dalam kalbunya hanya ada darma untuk Ki Enthus Susmono, sang dalang beken dari Kota Bahari. Bocah itu bernama Bayu. Murid emas Ki Enthus. Tak hanya karena kepiawaiannya bermain wayang kulit, Bayu sudah dianggap seperti anak kandung oleh beliau. Sejujurnya, padepokan ini seperti tempat les pada umumnya. Membutuhkan uang untuk kelangsungan pelajarannya sekaligus sebagai pemasukan lain dari sang dalang. Namun tidak dengan Bayu. Ia digratiskan 100% untuk belajar bersama Ki Enthus. Alasan beliau klasik. Bayu adalah anak orang yang tidak punya. Bahkan ia sudah tak lagi memiliki orang tua dalam hidupnya. Sungguh miris nasib bocah baik hati nan setia itu. Tetapi, Bayu tidak ingin terus merepotkan dalang favoritnya itu. Ia pun berusaha mengerjakan apa yang ia bisa seperti membantu karyawan Ki Enthus membersihkan mobil hingga ikut merawat barang-barang kesenian wayang di rumah beliau.

Awalnya, Bayu bertemu Ki Enthus saat dia berusia 6 tahun. Bayu seringkali menonton Ki Enthus ketika sedang mengajari muridnya di padepokan. Sampai suatu hari, Ki Enthus menyadari kehadiran bocah tersebut. Dipanggilnya Bayu untuk masuk ke padepokannya.

Tong! Mene mlebu,” panggil Ki Enthus dengan kode tangan.

Bayu hanya mengangguk dan menurut untuk masuk ke dalam padepokan. Tangannya gemetar saat itu. Entah apa yang ia pikirkan, ia malah menangis tersedu-sedu di hadapan Ki Enthus dan murid-muridnya.

Lantas Ki Enthus bertanya, “Arep apa ning jaba miki, Tong?”

Bayu terus menangis dan tidak menjawab sepatah kata pun. Kembali Ki Enthus bertanya, “Sapa arane koen?” kali ini sang dalang mencoba menenangkan Bayu dengan menepuk-nepuk punggungnya.

“Bayu,” Jawabnya singkat.

Setidaknya, Ki Enthus sudah mengetahui nama bocah tersebut walaupun tujuannya datang kemari setiap hari masih merupakan tanda tanya. Ki Enthus pun berinisiatif memberikan Bayu wayang kulit yang sedang ia pegang dengan tujuan membuat Bayu terdiam. Tak diduga! Bayu bisa memainkan wayang tersebut dengan sangat piawai. Dilenggokkannya wayang tersebut ke kanan dan kiri sembari tertawa lepas. Ki Enthus tersenyum dan melihat Bayu memiliki potensi yang besar di dunia wayang kulit.

Tak lama setelah kelas wayang tersebut selesai, di dalam padepokan terlihat Bayu yang digendong oleh Ki Enthus. Di sana juga tampak simbah dari Bayu yang sedang ngendika dengan Ki Enthus. Dari percakapan tersebut, sang dalang mengetahui bahwa Bayu bukanlah anak beruntung. Bapaknya sudah meninggal sebelum ia dilahirkan. Sedangkan ibunya depresi dan memutuskan bunuh diri ketika Bayu masih membutuhkan minum air susu ibunya. Kini, ia tinggal berdua dengan simbah yang sudah renta dan jauh dari kata sehat. Ki Enthus hanyut dalam cerita Bayu sampai ia meneteskan air matanya. Didekapnya Bayu dengantangisanyang mengalir deras dari kelopak matanya. Menurut simbah, Bayu sangat mengidolakan Ki Enthus. Tak jarang Bayu memanggil Ki Enthus dengan sebutan Rama.

Mbah! Niku ramane Bayu nggih, Mbah? Rama wasis banget!” seru Bayu dengan tatapan penuh afeksi. Kurang lebih, seperti itu gambaran yang diceritakan oleh simbah. Simbah hanya bisa tersenyum mendengar cucunya terus menganggap Ki Enthus adalah bapaknya.

Beberapa tahun berlalu, kini Bayu sudah tumbuh menjadi remaja yang gagah dan tampan. Ia pun seringkali diajak manggung dengan Ki Enthus. Bayu biasanya menemani Ki Enthus di sampingnya. Sekedar menemani atau bahkan mengipasi Ki Enthus agar beliau tidak gerah. Setidaknya sampai di suatu hari yang bisa dibilang akhir dari karir gemilang sang dalang. Seperti biasa, Ki Enthus yang terkenal religius hendak menghadiri pengajian di salah satu desa di Kabupaten Tegal. Namun sayangnya, di perjalanan ia merasakan nyeri dada dan mual hingga sang dalang pun tak sadarkan diri. Bayu yang panik langsung mengarahkan sopir untuk menuju rumah sakit. Sayang seribu sayang, Ki Enthus harus menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Dr. Soeselo Kabupaten Tegal, Slawi.

Banyak atma yang berduka atas kejadian tersebut. Tak terkecuali Bayu. Karena Ki Enthus seorang bupati dari Kabupaten Tegal dan namanya yang sudah besar, banyak sekali warga biasa maupun pejabat daerah mendatangai kediaman almarhum. Bayu masih syok. Belum bisa ikut datang ke istana Ramanya. Ia terus dibayang-bayangi oleh bayangan Ki Enthus yang berlalu lalang di pikirannya. Akhirnya, Bayu pun memutuskan untuk datang ke sana menjelang pemakaman Rama pemilik asmaraloka dari dirinya sendiri. Walau bergetar, ia mencoba menguatkan diri.

Saat ikut mengantar Ramanya ke tempat peiristirahatan terakhir, Bayu memang tak menangis. Namun, ia merasa langit sangat gelap, tanah yang ia pijaki semakin lama semakin tak terlihat, pandangan Bayu buram, kakinya sukar untuk melangkah. Bayu pun terkulai lemah seperti tak memiliki kekuatan.  Ia terduduk di tanah sebab kakinya seperti tak kuat menopang kesedihan mendalam.

Sejenak, suara Ki Enthus terdengar samar-samar di telinganya,“Tong, aja sekan klalen ibadah ya. Tulung gawakna wayang kulit kie maring kancah internasional. Rama yakin koen pasti bisa.” Kalimat ini selalu menjadi pengingat bagi Bayu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabulkan permintaan sang Rama.

Perlahan-lahan pandangan Bayu Kembali normal. Dirinya sudah lebih kuat sekarang. Meskipun jauh dalam hati kecilnya, ia masih belum mengikhlaskan Ramanya untuk pergi. Setidaknya, Bayu terus meyakini bahwa Ki Enthus akan selalu bersama dirinya walau raga almarhum sudah tak ada lagi. Dilihatnya tempat pemakaman sebagai kebun yang asri. Sangat bersih, sejuk dengan gemercik air yang meriuhkan suasana. Sepertinya, inilah yang dilihat ruh dari sang Rama saat ini. Bisa jadi Ki Enthus sendiri yang membuat Bayu semakin kuat dan tegar. Sesudah menguburkan almarhum di liang lahat, Bayu kembali ke rumahnya. Ia menatapi foto dirinya dengan sang Rama di salah satu pagelaran wayang.

Bayu menyentuh foto tersebut seraya berkata,“Rama, kula saestu, setunggaling dinten mangke ringgit purwa gadhahipun panjenengan ajeng rame dipun-ginemaken tiyang wonten sadayaning donya.”

Bayu tidak berkata bohong! Perlahan, Bayu mulai mencoba keberuntungannya menjadi seorang dalang. Dari membuat pagelaran wayang sendiri untuk anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya, Bayu semakin dikenal banyak orang. Walaupun tak sedikit pula dari mereka yang mencaci maki Bayu. Mengatakan Bayu dengan sebutan “Babunya Ki Enthus”. Bayu tak pernah mempedulikan cacian itu. Ini juga salah satu sikap yang diajarkan Ki Enthus. Bayu ingat betul bagaimana Ramanya itu menanggapi ejekan dari banyak pihak yang tidak menyukainya. Bayu benar-benar mengikuti jejak Ki Enthus. Bukan hanya profesi, dirinya juga selalu meniru sifat dan sikap sang dalang.

Berkat kesabaran dan keuletannya menekuni dunia pewayangan ini, Bayu mulai diundang untuk mengisi pagelaran wayang. Tapi, sayang sekali pentas perdana Bayu di atas panggung harus berakhir dengan tidak menyenangkan. Entah apa yang Bayu pikirkan, ia membuat alur cerita wayang itu terkesan tidak nyambung dan berputar-putar tanpa arah yang jelas.

Dalang model apa kie. Alur ceritane ngalor ngidul. Balik bae yuh. Ora apik ditonton. Nggo apa,” seru salah seorang penonton.

Iya keh. Ra kaya Ki Enthus. Wagu nemen ceritane,” sambung penonton dari arah pojok kanan.

Jarene tah muride Ki Enthus. Daning kaya kie yah? Wis lah wis balik bae balik!” balas yang lainnya menambahi.

Satu persatu penonton mulai meninggalkan tempat pagelaran tersebut. Bayu hanya bisa terdiam. Bahkan, pemain gamelan pun ikut menyoraki dirinya dari belakang. Bayu merunduk. Ia menangis. Rupanya, sedari tadi ia mengingat Ramanya. Bayu tidak bisa manggung dengan apik karena Ki Enthus terus ada di pikirannya. Sangat sulit bagi Bayu untuk mengikhlaskan kepergian Ramanya. Bayu terus mengingat Ki Enthus jika ia melihat wayang kulit yang merupakan jati diri sang dalang. Akibat dari kekacauan yang ia perbuat, Bayu tidak mendapatkan honornya dari pemilik acara sore itu. Bayu kembali ke rumah dengan tangan kosong dan perasaan yang campur aduk.

Sejenak Bayu terduduk dan terus memandangi wayang kulit yang sedari tadi ia genggam. Ia mengingat kata Ramanya saat itu, “Tong! Koen kuwe bocah apikan. Pinter dolanan wayang maning. Rama yakin koen pantes dadi dalang sing terkenal. Wis. Ra usah ngringokna wong liya. Koen ya koen. Pan belih lah wong liya pan ngomong apa. Ngko angger Rama wis laka, terus cekel wayang kiye ya. Buktikna karo wong wong, wayang bisa terkenal lewat koen.”

Nggih, Rama. Menika Rama saestu kula ugi saestu.”

Aja gampang nyerah ya. Dadi dalang memang kangelan. Apa maning angger koen durung duwe nama. Memang kabehane kudu dibarengi doa lan niat. Rama pesen maring koen, aja nganti ninggalna Allah. Manut apa bae sing diwenehi gusti Allah pasti ngko jalane ana dewek,” sambung Ki Enthus sembari tersenyum.

Tak lama, adzan berkumandang menandakan seluruh umat Islam telah dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan ibadah sholat Maghrib. Bayu langsung bergegas mengambil air wudhu dan pergi ke mushola di dekat rumahnya. Sampai di mushola, Bayu mendapati banyak warga yang melihat ke arahnya dengan tatapan tidak suka. Bayu sadar. Ini adalah hukuman sosial untuknya dikarenakan kejadian sore tadi. Ia pun tetap memberikan senyuman dari bibirnya ke para warga yang sedang membicarakannya. Kemudian, Bayu melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim di mushola tersebut. Setelah sholat Maghrib berjamaah selesai, Bayu mendatangi ustadz yang merupakan imam sholat tadi.

Bayu bertanya, “Nuwun sewu, Ustadz. Menapa kula ganggu?”

Sang Ustadz pun membalikan badannya menghadap Bayu seraya menjawab, “Mboten koh, Mas Bayu. Wonten menapa nggih?”

“Menika, Tadz. Wiwit tindakipun Rama, kula kados dereng sagedmengikhlaskan tindakipun Rama. Saben dinten bayangan Rama tansah dugi wonten sugeng kula. Menika saya ndamel kula sekel nguculi swargi, Keluh Bayu dengan raut wajah yang bersedih.

“Astaghfirullah, Mas Bayu kedah kathah-kathah istighfar. Kados puniki mas, estu ingkang asmanipun dipuntilaraken dening tiyang tersayang sisah sanget kangge dhiri kita. Punapa malih dipuntilaraken kanggesalami-laminipun kados puniki. Nanging, MasBayu kedah emut menawi Ramanipun MasBayu saged sedhih menawi Mas terus-terusan nangis lan dereng mengikhlaskan piyambakipun kangge tindak.” ucap sang Ustadz menguatkan  Bayu.

“Kuncinipun, nyaketaken dhiri dhateng Gusti Allah. Perbanyak amal ibadah lan sampun tilaraken sholat.” Sambung sang Ustadz.

Akhirnya, Bayu pun tersadar. Ia beterima kasih kepada Ustadz tersebut kemudian duduk di teras musholla sembari berdzikir. Bayu menyadari bahwa pertolongan Allah akan selalu ada untuknya. Setelah sekian lama berdiam diri di mushola tersebut, ia Kembali ke rumah dan mengemasi barang-barangnya. Rupanya, Bayu ingin memulai awal yang baru di daerah lain. Karena, untuk merubah pola pikir warga di sini sudah sulit baginya. Bayu tidak yakin akan diterima kembali setelah apa yang terjadi.

Dengan menggunakan mobil, Bayu pergi dari tanah kelahirannya dan meninggalkan seluruh kenangannya di daerah penghasil tahu aci tersebut. Bayu tidak pergi terlalu jauh hanya beberapa kilometer. Selamat Datang di Kota Pemalang. Begitu bunyi plang suatu jalan yang dimasuki olehnya. Di sini, Bayu memulai semuanya dari awal. Ia Mencoba menghilangkan luka-luka yang masih membekas di hatinya, hingga semakin mendekat kepada Yang Mahakuasa, ia lakukan semua itu di tanah yang dijuluki Kota Ikhlas ini. Berkat usahanya, Bayu kini menjadi salah satu dalang dengan honor tinggi di Jawa Tengah. Bayu terus diundang dari stasiun televisi satu ke stasiun televisilainnya. Tak terhitung berapa banyak acara yang sudah dihadiri olehnya saat ini.

Namun, Bayu belum merasa puas dengan semua itu. Karena, tujuannya tak lain membawa wayang kulit pemberian sang Rama ke kancah internasional. Dia pun  menjajal kemampuannya di America’s Got Talent dengan memainkan wayangnya. Ada yang berbeda di pertunjukan kali ini. Bayu membawakan wayang kulit dengan diiringi band. Ia tidak bersuara saat mementaskan wayangnya. Pertunjukan kali ini bertajuk The Sidelines of Indonesian’s Wayang. Sontak para juri menekan tombol emas penanda Bayu adalah pemenang dari ajang unjuk bakat ini. Bayu sukses mengabulkan permintaan Ki Enthus sekaligus membawa konsep baru dalam seni pewayangan di Indonesia. Selepas ia keluar dari gedung America’s Got Talent, banyak kamera yang menyorot sang pahlawan wayang dari Indonesia.

“You are so cool. What will you do after this?” tanya salah seorang wartawan.

“Visited my hero’s grave, Ki Enthus, and presented this trophy to him, jawabnya sembari tersenyum dan berjalan menuju mobilnya untuk segera kembali ke kampung halamannya dan sowan ke makam Rama, Sang Maestro bagi dirinya.