***Ditulis oleh Safna Fida Anzalina
Pak Ito, Guru SLB Brebes
“Tak,tak, tak”, riuh hentakan sepatu ramai terdengar. Sorak sorai para siswa, suara kayuhan pedal sepeda, dan kepulan asap knalpot cukup melengkapi suasana sekolah pagi itu. Para penjajak makanan telah siap berbaris di depan sekolah, menanti pelanggan yang siap menyantap sajian yang dijajakannya. Para siswa mulai berkutat dengan kesibukannya. Menyapu kelas, bermain kelereng, mengerjakan pekerjaan rumah yang belum selesai, ada pula yang sibuk memilih jajanan yang harus dibeli pagi ini. Semua tampak antusias dan siap melewati aktivitas hari ini. Tapi tidak dengan Ikhan (umur). Bocah kelas 6 MI Mansyaul Ulum Luwungragi ini tampak tak bersemangat, ia seolah telah memprediksi bahwa ini bukanlah harinya. Tujuh tahun menuntut ilmu disini, terasa sia-sia terlewati begitu saja. Tak masuk pelajaran, bolos sekolah, mungkin sudah menjadi hal yang lumrah baginya. Tak ada timbal balik yang berarti untuknya.
Hari ini adalah tahun kedelapannya. Tahun yang ia harap sebagai tahun terakhir menginjakkan kaki di sekolah ini. Tak ada alasan pasti mengapa ia ingin segera beranjak dari lingkungan sekolahnya. Namun tanpa disadari ada sesuatu yang janggal pada dirinya. Ikhan mengalami keterlambatan berpikir yang menyebabkan dirinya sulit untuk menyesuaikan dengan teman sebayanya. Dari segi fisik, ia sama layaknya teman-teman sebayanya, berkomunikasi pun bukan suatu masalah baginya. Hanya saja dalam menerima pelajaran dan memahami sesuatu ia cukup sulit untuk melakukannya. Seperti yang dituturkan oleh Rumiyati (Ibunya) pada (tanggal)
Keterlambatan berpikirnya itu membuat sosok Ikhan menjadi pribadi yang tertutup. Acapkali ia malu dan menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda darinya. Sesuatu yang tak ia temukan pada teman-teman sebayanya. Ia sulit memahami deretan huruf-huruf yang panjang, ia tak paham maksud guratan-guratan angka yang dituliskan gurunya di papan tulis, ia tak suka menunjukkan jati dirinya di depan teman-temannya, mereka semua bagai musuh-musuh besar yang sukar ditaklukkan, dan sampailah pada titik ini. Titik dimana ia memutuskan bahwa tahun kedelapan ini adalah tahun terakhir baginya untuk sekolah. Ya, ia ingin berhenti memahami musuh-musuhnya itu.
Pro dan kontra mulai muncul dari pihak keluarga, keinginan agar Ikhan tetap melanjutkan sekolahnya masih didorong kuat oleh keluarganya. Sebut saja Ida, bibi dari Ikhan ini tetap bersikeras untuk menyekolahkan keponakannya itu, menurutnya menuntut ilmu itu (pendapat mama). Pada akhirnya diputuskanlah, Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi sekolah pilihan Ida untuk keponakannya. SLB dirasa mampu untuk mengembalikan rasa percaya diri Ikhan yang sempat hilang, mampu menggali potensi besar yang ada pada diri Ikhan.
Namun tak semudah membalikkan telapak tangan, keinginan Ida itu menuai cuitan-cuitan dan komentar-komentar yang keluar melalui mulut oang orang sekitar. Tak hanya itu, sebagian keluarga pun memilih untuk berada di pihak kontra. Menurut mereka, SLB bukanlah tempat yang tepat bagi Ikhan. SLB hanya akan membuat Ikhan merasa lebih enggan menunjukkan jati dirinya. Ditambah lagi Rumiyati, sang ibu dari Ikhan itu, memilih agar Ikhan tak usah meneruskan sekolahnya. Ikhan juga mendukung keinginan ibunya dan justru memilih untuk menjadi peternak ayam kecil-kecilan di desanya.
Halangan dan rintangan itu tak lantas membuat Ida berhenti begitu saja. Motivasi-motivasi, tak henti-hentinya ditujukan kepada Ikhan. Namun bagai angin lalu, usaha Ida tak dihiraukan sama sekali, baik Ikhan dan Rumiyati sepakat untuk tidak meneruskan sekolahnya. Ida tak mampu lagi meneruskan misinya. Berbagai cara telah dilakukan, namun hasilnya nol besar.
Hari demi hari, bulan demi bulan pun berlalu, satu minggu lagi pendaftaran SLB akan ditutup. Bagai mendapat angin segar, Ida menjadi orang paling antusias hari ini. Ya, ia bahagia lantaran Ikhan memutuskan untuk tetap melanjutkan sekolahnya. Dibantu oleh Mualifah (kakak Ida), Ida mengurus segala persyaratan pendaftaran sekolah keponakannya itu.
Tibalah hari ini. Hari dimana Ikhan menginjakkan kaki di sekolah barunya, dimulailah petualangan Ikhan yang sebenarnya. Jarak sekolah yang terbilang cukup jauh membuat Ikhan mau tidak mau harus mencoba keluar dari zona sehari-harinya, keluar dari lingkungan sekitarnya, dan siap menghadapi hiruk pikuknya dunia luar.
Minggu ke minggu telah dilalui, cuitan-cuitan mulai mereda sendiri, perkembangan yang pesat mulai terlihat pada sosok Ikhan. Ia sudah mau belajar menunjukkan jati dirinya, tak lagi menjadikan angka dan huruf itu musuh-musuhnya. Perkembangan itu disampaikan oleh walikelas nya (Pak Ito) pada (tanggal)
Pada akhirnya, Sekolah Luar Biasa menjadi penolong terbesar bagi Ikhan. SLB tak melulu tentang mereka yang berbeda. SLB adalah tempat bagi mereka yang menyimpan sejuta keajaiban dalam dirinya. SLB bukanlah tempat yang memalukan untuk dikunjungi, tapi SLB adalah tempat bagi mereka yang mau belajar menunjukkan siapa dirinya. SLB adalah tempat dimana saya, kamu dan kita akan merasa bahwa diri kita amatlah berharga. Mereka yang berbeda, memiliki potensi yang sama dengan kita. Mereka yang berbeda memiliki peran besar untuk dunia. Karena mereka berharga, maka dari itu mereka ada.