Korupsi dapat merusak potensi ekonomi negara dan menjadi virus yang meruntuhkan moralitas bangsa. Namun faktanya, kasus korupsi seolah-olah menjadi penyakit yang membudaya di negeri ini, dengan melibatkan berbagai aktor baik elite politik, kaum terdidik hingga pengusaha. Keberadaannya sudah menjadi hal yang tak asing di negeri ini. Masalah korupsi menjadi topik yang selalu diperbincangkan di berbagai media, baik elektronik maupun cetak.
Kasus terbaru misalnya, korupsi pengadaan alat kesehatan RSUD Kardinah yang melibatkan wali kota Tegal dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi antirasuah itu menduga, kasus tersebut merugikan keuangan negara sebesar 5,1 miliar (Radar Tegal, 31 Agustus 2017).
Setidaknya ada dua faktor mengapa korupsi masih tetap tumbuh subur, yaitu adanya kesempatan dan keinginan. Faktor kesempatan berkaitan dengan sistem. Jika sistemnya akuntabel dan transparan, kesempatan seseorang untuk bertindak korup semakin minim. Adapun faktor keinginan berkaitan dengan moral seseorang. Karena itu, perlu adanya penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini seperti di lingkungan keluarga.
Bila dibiarkan begitu saja, persoalan korupsi akan menghancurkan moralitas bangsa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, masalah ini harus dapat diatasi sejak dini dengan memfokuskan penyemaian nilai-nilai antikorupsi di lingkungan keluarga. Orang tua dan anggota keluarga lainnya dapat berperan serta. Pendidikan antikorupsi berbasis keluarga merupakan gerakan nyata untuk menanamkan nilai kebaikan dan kejujuran anak sejak usia dini agar menyadari arti penting sebuah tanggungjawab. Pendidikan ini dapat diterapkan sejak anak sudah bisa melakukan komunikasi secara lancar dengan orang tuanya. Orang tua harus berkomitmen dalam membentuk kepribadian dan karakter anak.
Upaya menyemai nilai-nilai antikorupsi tersebut dapat ditempuh dengan tiga jalan. Pertama, menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak sejak usia dini. Penanaman kejujuran bukan berarti anak tidak boleh berbuat salah. Anak hanya diarahkan untuk selalu bersikap jujur dalam segala hal. Misalnya, saat anak berbuat salah dengan mengambil alat tulis temannya, maka tak perlu dimarahi. Orang tua hanya perlu memintanya untuk mengembalikan barang tersebut. Karena bukan haknya, orang tua juga mesti memberikan penjelasan dan pemahaman tentang dampak yang dapat ditimbulkan kemudian hari. Dari sinilah akan terbentuk persepsi bahwa jujur itu mudah dan tidak menakutkan. Ikatan antara orang tua dan anak menjadi sesuatu yang potensial untuk menanamkan nilai kejujuran berbasis keluarga.
Kedua, menjalin sikap keterbukaan antaranggota keluarga. Anak perlu diajak dialog dengan anggota keluarga lainnya, terutama tentang hal-hal yang menyangkut dirinya. Dengan perlibatan semacam ini antaranggota keluarga akan mampu menciptakan suasana yang harmonis dan hidup lebih mengutamakan kepada kepentingan orang banyak.
Ketiga, menerapkan gaya hidup sederhana. Hal ini perlu diterapkan pada anak usia dini tentang bagaimana pentingnya hidup sederhana. Lingkungan keluarga harus berada di garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai kesederhanaan. Perlu menyadarkan kepada anak-anak bahwa perilaku korup disebabkan juga oleh gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup semacam ini jika tidak terpenuhi, maka akan melakukan berbagai cara seperti korupsi. Hidup sederhana dengan ketenteraman mesti selalu meliputi setiap langkah kehidupan, dari pada hidup bergelimangan harta tapi selalu diliputi oleh kecemasan.
Untuk mewujudkan pendidikan antikorupsi berbasis keluarga, tentu diperlukan komitmen dalam memahami perannya masing-masing, terutama orang tua. Peran orang tua begitu vital dalam upaya pencegahan perilaku korup sejak dini dalam lingkungan keluarga.
***Ditulis oleh Laili Wafiqoh, Ketua Ekstrakurikuler Jurnalistik MAN Kota Tegal TA. 2017/2018
***Opini ini dimuat di Harian Pagi Radar Tegal pada hari Selasa, 12 September 2017