PUPUT DAN PERUBAHAN KARAKTER SEJAK PANDEMI

Tak ada seorang pun yang pernah menyangka bahwa dunia akan berubah begitu drastis bak membalikkan telapak tangan. Pandemi Covid-19 yang mewabah dunia mengubah cara-cara hidup baru umat manusia. Virus yang berasal dari Kota Wuhan itu seakan-akan membuka mata dunia bahwa umat manusia perlu beradaptasi dengan cara-cara baru dalam menjalani kehidupan. Entah itu sektor ekonomi, pemerintahan maupun pendidikan. Bahkan karakter manusia pun ‘dipaksa’ berubah.

Pagi itu, sekitar pukul tujuh pagi, Puput bergegas keluar dari kamar menuju teras rumah. Ada tumpukan-tumpukan buku yang dibawa tangan kanannya, dan sebuah gawai keluaran tahun 2010-an yang berada digenggaman tangan kirinya. Di teras itu, gadis berambut ikal ini beradaptasi dengan cara belajar baru sejak pandemi Covid-19 mewabah negeri ini. “Di teras sinyal lebih stabil,” kata perempuan usia 16 tahun itu, Sabtu (15/8/2020).

Tampkanya Puput begitu antusias mengikuti pembelajaran daring melalui e-Learning. Materi-materi yang diberikan guru diperhatikan dengan seksama. Tugas yang diberikan pun ia selesaikan dengan penuh ketelitian layaknya seorang pembuat anyaman. Sesekali ia meletakkan gawainya untuk memberikan jeda istirahat kedua matanya yang belok. Secangkir teh hangat menemani setiap pagi harinya. Begitulah cara Puput menikmati pembelajan berbasis internet sejak pandemi.

Belajar menuju arah yang lebih baik itu banyak pintu, banyak jalan, dan dapat dari hal apapun, termasuk belajar dari pandemi Covid-19. Puput, ramaja usia belasan tahun itu, awalnya tak punya kebiasaan menabung. Pandemi mengajarinya bahwa kebutuhan hidup itu harus dipersiapkan karena hal-hal tak terduga dapat muncul kapanpun diluar rencana umat manusia. “Sejak pandemi ini, saya semakin sadar pentingnya menabung,” terangnya.

Kebutuhan akan kuota internet yang meningkat tajam dari 100 hingga 200 persen untuk kebijakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), memaksa dirinya untuk mengubah karakternya menjadi rajin dan gemar menabung. Apalagi usaha orang tuanya juga terdampak begitu drastis sejak pandemi berlangsung. “Saya mulai latihan menyisihkan uang jajan untuk memenuhi kebutuhan kuota sendiri. Kan, kondisi ekonomi orang tua sedang terpuruk,” ujar siswi kelas XII itu.

Ya, Puput adalah satu dari sekian banyak pelajar di negeri ini yang berusaha sekuat tenaga untuk menikmati pembelajaran daring dengan segala keterbatasannya. Ia memiliki cara pandang sendiri untuk memotret sebuah peristiwa. Pada akhirnya, pandemi tak hanya mengubah cara hidup umat manusia, tapi juga memaksa untuk memiliki karakter yang lebih positif.

Penulis: Serly Alia Putri, Siswi Kelas XII IPS 5

NOKTAH ITU BERNAMA DINDA

“Es… es… es… es…Pak, Bu, Mas, Mbak…”

Di sebuah sudut kota Tegal, seorang perempuan usia belasan tahun tampak sedang mengusap keringat yang menetes dari wajahnya. Parasnya tampak kusam. Sesekali ia memanggil-manggil orang yang lalu-lalang sembari menunjuk deratan minuman yang ada dihadapannya. Saat itu, jarum jam dinding tepat menunjukkan pukul satu siang.

Masalah selalu mewarnai kehidupan dengan caranya sediri untuk menguji manusia. Pengorbanan pun harus dicurahkan sekuat tenaga untuk menghadapinya. Sikap mengeluh tidak akan mengubah apapun. Semangat dan kerja keraslah kuncinya. Prinsip inilah yang begitu disadari oleh Dinda (17), remaja RT 07 RW 07 Margadana Kota Tegal. Anak tiga bersaudara dari pasangan Yeni (40) dan Nur Rohman (45) itu rela bekerja sampingan untuk mengurangi beban orang tuanya.

Semenjak pandemi Covid-19 yang menjangkit tanah air pada Maret lalu, pendapatan orang tua Dinda sebagai perantau tak menentu, bahkan menurun drastis. Penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari benar-benar terdampak. Jangankan untuk pemenuhan kebutuhan satu pekan ke depan, untuk sekadar bertahan hidup pada hari itu saja sudah perlu cucuran darah. “Apapun patut disyukuri,” kata gadis bertubuh mungil itu, Sabtu (15/8/2020).

Bagi gadis seusianya, Dinda adalah sebuah noktah yang bergerak menjadi garis, sebuah bentuk geometri. Betapa pentingnya noktah itu. Saat melukis, kita akan memulainya dengan sebuah noktah di atas kanvas. Saat menggambar sebuah bidang, noktah akan menjadi titik awal bermulanya. Melalui noktah yang menjadi garis dan berkembang menjadi sebuah bidang, kita menyaksikan jajar genjang, lingkaran, kubus, segitiga, dan bahkan bumi yang kita injak ini.

Dinda adalah satu dari sekian anak usia sekolah di Bumi Pertiwi yang memilih jalur berbeda, memilih tetap berdiri meski pada masa pandemi. Ada dua beban berat di pundak ramaja kencur itu: belajar secara daring dan bekerja. “Seadanya tak apa meski menjadi penjaga warung es,” terang perempuan beriris cokelat itu. Tumpukan buku dan gawai jadul tertata rapi disamping tempat duduknya. Sembari menawari berbagai varian es yang dijualnya, Dinda sesekali memantau gawainya untuk memantau aktivitas pembelajaran di e-Learning sekolah. “Sulit dan lelah, tapi harus tetap dijalani dengan hati yang tulus dan mantap,” imbuhnya.

Dengan segala keterbatasan finansialnya, Dinda mengingatkan kita pada film “Say I Love You” garapan Faozan Rizal. Betapa pentingnya menyeimbangkan tanggung jawab belajar dan bekerja secara bersamaan di usia dini dalam menggapai mimpi dan meraih cita-cita.

Dinda begitu mencintai keluarganya. Tinggal berdua dengan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, perempuan berkulit sawo matang itu menjadi partner terbaik Atfal (11). Ditengah pandemi dengan belajar yang serba daring, Ia adalah fasilitator dan motivator terbaik adiknya. “Jika tak mampu memberikan manfaat kepada orang banyak, setidaknya kita mulai dari keluarga kecil ini,” jelasnya penuh penghanyatan.

Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas XII itu percaya bahwa dalam setiap masalah pasti ada jalan keluarnya meski membutuhkan sebuah totalitas pengorbanan untuk menghadapinya. Ia yakin, kerja kerasnya pasti membuahkan hasil yang baik. “Tak ada gunanya mengeluh,” pungkasnya.

Penulis: Risa Nurhaliza, Siswi Kelas XII IPS 5

JANGAN ADA ‘VAKSIN’ SPIRIT PANDEMI COVID-19

Siang itu, resonansi dari sudut-sudut bilik rumah warga muncul secara bersamaan. Semuanya membentuk sebuah harmoni yang semakin lama justru semakin menghadirkan keindahan. Rupanya jutaan pasang mata menyaksikan hal yang sama, melihat apa yang terjadi di Bandung. Ya, Indonesia menjadi tuan rumah Uji Klinis Tahap 3 Vaksin Covid-19. Presiden Joko Widodo menjadi ikon momen bersejarah itu. Ekspektasi warga layaknya snowball, semakin tayangan itu disaksikan, semakin besar harapan untuk bangkit dan terbebas dari pandemi yang menjangkit negara-negara di penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Di rumah kecil yang tak jauh dari jalan raya itu, seorang gadis belasan tahun menyaksikan apa yang menjadi headline di stasiun televisi lokal maupun nasional. Winda Pujianti Santoso namanya, mengamati secara seksama setiap jengkal yang terjadi di ruang-ruang Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Sebanyak 1.620 relawan mendarmabaktikan dirinya atas nama amal saleh kemanusiaan.

Tak ada satu negara pun di dunia yang sudah bersiap menghadapi pandemi ini, bahkan sekelas negara adikuasa sekalipun. Tak dapat dipungkiri bahwa vaksin Covid-19 itu menjadi barang superlangka yang begitu tak ternilai harganya untuk saat ini. Namun bagi Winda, begitu sapaan akrabnya, pandemi ini mengajari banyak hal. “Semakin sadar, betapa pentingnya selalu menjaga kebersihan dan kesehatan kapanpun dan dimanapun,” terang gadis berkacamata nan berparas ayu ini, Selasa (11/8/2020).

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan, tak terasa sudah hampir setengah tahun Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berlangsung di negeri ini. Siswi kelas XII IPS di salah satu sekolah negeri di Kota Tegal itu berharap, pandemi Covid-19 segera sirna dan bumi pulih kembali secara perlahan demi perlahan. Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) mulai digiatkan dan dikampanyekan secara terus-menerus dan konsisten. Namun, kelengahan personal maupun komunal yang membahayakan kesehatan diri sendiri dan orang yang jangan pernah dibiarkan.

Pandemi Covid-19 bukan hanya soal kesehatan, tapi juga tentang rasa kesadaran bahwa pendidikan anak adalah milik bersama. Betapa banyak orang tua yang selalu bersifat permisif terhadap perkembangan pendidikan anaknya, sehingga pendidikan hanya dibebankan kepada guru semata. Semua pihak baik pemerintah, guru, orang tua maupun masyarakat wajib terlibat didalamnya sebagai satu kesatuan yang untuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Bersama-sama bahu-membahu untuk menunaikan janji dan amanat kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. “Saat belajar serba daring, dukungan penuh dan motivasi dari orang tua begitu penting dan bararti,” jelas perempuan kelahiran Tegal 17 tahun silam.

Perkembangan teknologi yang begitu masif dan mendunia menjadi momentum yang tepat untuk para pelajar meningkatkan kompetensi dan menemukan cara belajar yang pas sesuai diri sendiri. Mewabahnya virus yang berasal dari Kota Wuhan itu ‘memaksa’ banyak pelajar untuk benar-benar melek teknologi tanpa terkecuali. Terlepas dari sisi negatifnya, teknologi akan menjadi begitu berdampak positif jika digunakan secara tepat dan oleh orang yang tepat pula. “Melalui internet, pintu pengetahuan terbuka luas dengan cara yang cepat dan lintas batas. Saya juga mulai belajar berbagai fitur atau aplikasi yang dapat menunjang pembelajaran,” paparnya.

Akhirnya semua mesti menyadari, betapa pentingya vaksin Covid-19 secara medis untuk mencegah atau menyembuhkan mereka yang terpapar. Namun, spirit ke arah yang positif dari pandemi ini jangan pernah hilang, dan jangan pernah disembuhkan menggunakan ‘vaksin’ apapun.

Penulis: Moh. Caesar Febriano S., Siswa Kelas XI IPS 2