NOKTAH ITU BERNAMA DINDA

“Es… es… es… es…Pak, Bu, Mas, Mbak…”

Di sebuah sudut kota Tegal, seorang perempuan usia belasan tahun tampak sedang mengusap keringat yang menetes dari wajahnya. Parasnya tampak kusam. Sesekali ia memanggil-manggil orang yang lalu-lalang sembari menunjuk deratan minuman yang ada dihadapannya. Saat itu, jarum jam dinding tepat menunjukkan pukul satu siang.

Masalah selalu mewarnai kehidupan dengan caranya sediri untuk menguji manusia. Pengorbanan pun harus dicurahkan sekuat tenaga untuk menghadapinya. Sikap mengeluh tidak akan mengubah apapun. Semangat dan kerja keraslah kuncinya. Prinsip inilah yang begitu disadari oleh Dinda (17), remaja RT 07 RW 07 Margadana Kota Tegal. Anak tiga bersaudara dari pasangan Yeni (40) dan Nur Rohman (45) itu rela bekerja sampingan untuk mengurangi beban orang tuanya.

Semenjak pandemi Covid-19 yang menjangkit tanah air pada Maret lalu, pendapatan orang tua Dinda sebagai perantau tak menentu, bahkan menurun drastis. Penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari benar-benar terdampak. Jangankan untuk pemenuhan kebutuhan satu pekan ke depan, untuk sekadar bertahan hidup pada hari itu saja sudah perlu cucuran darah. “Apapun patut disyukuri,” kata gadis bertubuh mungil itu, Sabtu (15/8/2020).

Bagi gadis seusianya, Dinda adalah sebuah noktah yang bergerak menjadi garis, sebuah bentuk geometri. Betapa pentingnya noktah itu. Saat melukis, kita akan memulainya dengan sebuah noktah di atas kanvas. Saat menggambar sebuah bidang, noktah akan menjadi titik awal bermulanya. Melalui noktah yang menjadi garis dan berkembang menjadi sebuah bidang, kita menyaksikan jajar genjang, lingkaran, kubus, segitiga, dan bahkan bumi yang kita injak ini.

Dinda adalah satu dari sekian anak usia sekolah di Bumi Pertiwi yang memilih jalur berbeda, memilih tetap berdiri meski pada masa pandemi. Ada dua beban berat di pundak ramaja kencur itu: belajar secara daring dan bekerja. “Seadanya tak apa meski menjadi penjaga warung es,” terang perempuan beriris cokelat itu. Tumpukan buku dan gawai jadul tertata rapi disamping tempat duduknya. Sembari menawari berbagai varian es yang dijualnya, Dinda sesekali memantau gawainya untuk memantau aktivitas pembelajaran di e-Learning sekolah. “Sulit dan lelah, tapi harus tetap dijalani dengan hati yang tulus dan mantap,” imbuhnya.

Dengan segala keterbatasan finansialnya, Dinda mengingatkan kita pada film “Say I Love You” garapan Faozan Rizal. Betapa pentingnya menyeimbangkan tanggung jawab belajar dan bekerja secara bersamaan di usia dini dalam menggapai mimpi dan meraih cita-cita.

Dinda begitu mencintai keluarganya. Tinggal berdua dengan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, perempuan berkulit sawo matang itu menjadi partner terbaik Atfal (11). Ditengah pandemi dengan belajar yang serba daring, Ia adalah fasilitator dan motivator terbaik adiknya. “Jika tak mampu memberikan manfaat kepada orang banyak, setidaknya kita mulai dari keluarga kecil ini,” jelasnya penuh penghanyatan.

Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas XII itu percaya bahwa dalam setiap masalah pasti ada jalan keluarnya meski membutuhkan sebuah totalitas pengorbanan untuk menghadapinya. Ia yakin, kerja kerasnya pasti membuahkan hasil yang baik. “Tak ada gunanya mengeluh,” pungkasnya.

Penulis: Risa Nurhaliza, Siswi Kelas XII IPS 5