Dunia ini memang begitu indah ketika sang mentari hendak muncul menyinari seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Matahari indah dengan siangnya, bintang dan bulan indah dengan malamnya. Begitulah bahasa semesta pada manusia. Seperti halnya manusia yang memperlakukan sesama dengan bahasa dan tutur kata, pelan namun penuh makna. Tak seperti serigala yang langsung memangsa tanpa menyapa.
***
Tepat diantara perbatasan Kabupaten dan Kota Tegal, pagi dirundung teduh yang kian menyejukkan jiwa-jiwa yang kering. Namun Jeje tampak terlalu mengkhawatirkan paginya.
Ya, dialah Jeje, seorang gadis bertubuh mungil dan bermata belok yang sangat meneduhkan hati. Ketika sejenak dipandang, ia terlihat begitu menyukai dunia tulis-menulis. Jejaring media sosial seakan menjadi panggungnya dalam menuangkan semua gagasan, emosi, bahkan ambisi.
Pagi itu, ia hendak pergi ke sekolah dengan ransel yang menempel di bahunya. Terlihat begitu jelas beban yang ia bawa. Maklum bagi Jeje, tas bukan sekadar tempat buku dan alat tulis, tapi kumpulan mimpi-mimpinya. Mimpi yang ia janjikan pada dirinya sendiri, mimpi yang ia patrikan sedari dini, dan mimpi yang selalu tepat berada diatas bahunya kemana pun ia melangkah dan berdiri.
“Duh, dangu sanget. Bang Oji dereng kemriki, sekedhap malih jawah,” gerutu Jeje dengan Bahasa Kromo dialek Tegalnya.
***
Bahasa merupakan sarana interaksi sosial yang paling mempengaruhi pola pikir seseorang. Karena itu, keluarga Jeje sangat memahami betul pentingnya sopan santun dalam berbahasa, apalagi ketika bertutur kata dengan orang yang lebih tua.
Bahasa Kromo begitu dekat dengan Jeje dan keluarganya. Setiap hari ia mempraktikkannya. Seperti layaknya makanan, Jeje tak lagi perlu berpikir panjang bagaimana cara memakannya. Language is habit (bahasa adalah kebiasaan), begitulah Bahasa Kromo yang sudah melekat dan menjadi kepribadian Jeje.
Ya, Bahasa Kromo memang dikenal sebagai tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa yang termasuk ragam hormat. Namun sayangnya, seiring berkembangnya zaman dan derasnya arus globalisasi, Bahasa Kromo secara perlahan namun pasti kian mengikis di kalangan generasi milenial. Bahkan sudah semakin jarang sekali dijumpai keluarga yang menerapkan Bahasa Kromo dalam kehidupan sehari-harinya. Begitulah perasaan yang sering mengganjal dalam benak Jeje.
***
“Tokotok… tokotok… tokotok,” suara motor Vespa kuno Bang Oji mendekat dari kejauhan.
Bang Oji-lah yang selalu menemani setiap pagi Jeje untuk berangkat sekolah. Sebut saja tukang ojek setia. Begitulah Jeje menjulukinya.
“Bu, Bang Oji sampun rawuh. Jeje pamit tindak sekolah nggih,” sembari menyodorkan tanggannya, lalu disusul kecupan manis dengan ramah.
“Nggih, Nduk. Sinau ingkang sregep, ampun mbeling kaliyan Bapak lan Ibu Guru,” pintanya sembari menatap kedua mata Jeje dan menepuk bahu kirinya.
***
Ibu Jeje, Kulsum, selalu melontarkan kata-kata motivasi dan pesan moral kepada anak-anaknya. Beliau adalah sosok ibu yang sangat kuat dalam menjalani setiap lika-liku kehidupanya seorang diri, tanpa kehadiran sosok suami. Bapak Jeje sudah lama meninggalkan keluarga kecil ini.
Dahulu, Bapak Jeje adalah seorang pembuat kereta yang gagah berani tanpa mengenal lelah. Sudah 16 tahun lamanya ia meninggalkan istri dan anak-anaknya karena penyakit yang dideritanya. Bukan karena Bapak Jeje lemah dalam berjuang melawan penyakitnya, namun kehendak-Nya sudah berkata demikian. Ya, barangkali Tuhan sudah jauh begitu merindukan hamba-Nya yang satu ini.
Sekarang Ibu Jeje bekerja seorang diri, dan mengajari anak-anaknya yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Ibu tidak pernah mengeluh tentang hal ini. Ia menyadari, memahami, menikmati setiap langkah kakinya sebagai seorang ibu, sebagai orang tua yang menjadi ujung tombak masa depan anak-anaknya kelak.
***
Kerinduan akan kehadiran sang ayah memuncak, bagai pungguk merindukan bulan, atau mungkin bak kemarau merindukan hujan. Namun keadaan seperti ini sudah biasa dialami Jeje dan Zani, kakak lelakinya. Keadaan ini bagi mereka bukanlah alasan untuk menjadi pribadi-pribadi yang putus asa, patah semangat, dan tak memiliki mimpi besar.
Bahasa yang dilanda rindu
Menghiasi sejuta makna yang terdalam
Terbuai sudah rasa ini
Hampir mati rasanya jika tak jumpa
Hanya balutan doa yang selalu menghiasi hariku
***
Sesaat kemudian, tiba-tiba Zika datang. Teman sebangku Jeje yang sangat bawel dan humoris.
“Je, tugas Bahasa Jawamu udah belum? Aku minta dong. Hehehe…”
“Sampun. Punapa dereng sih, Ka?” jawabnya sambil bertanya santai. Jeje lupa bahwa Zika tidak terlalu mahir berbahasa Kromo. Ia keceplosan.
“Kamu ngomong apa sih, Je? Aku enggak ngerti deh,” tanya Zika.
Kebetulan Jeje dan Zika bersekolah di tempat yang sama di Kota Tegal. Jadi, jarang sekali dijumpai teman-temannya yang mengerti betul Bahasa Kromo.
“Eh… maaf, Ka. Keceplosan. Kamu kan enggak terlalu paham Bahasa Kromo, ya. Hehehe… Maksud aku tuh gini. Aku udah ngerjain. Kenapa kamu belum, Ka?” jelas Jeje.
“Oh… gitu ya artinya. Pengin belajar banyak dari kamu deh. Aku minta ya, Je.”
“Baiklah, seharusnya kamu coba dulu siapa tau bisa, kan?” ucap Jeje. Jarang sekali teman-teman menggunakan Bahasa Kromo, paling banyak justru Bahasa Indonesia. “Aku memang patut bersyukur karena orang tuaku udah menekankan pentingnya menggunkan Bahasa Kromo sejak kecil,” kata Jeje dalam benak lamunannya.
Saputro datang mengecoh lamunan Jeje. Ibarat seekor kucing yang mencuri ikan dari majikannya, kaget bukan kepalang. Jeje pun tersadar dari lamunannya. Ya, Saputro memang sudah berteman lama dengan Jeje. Hampir 6 tahun lamanya. Sifatnya memang begitu, selalu menganggu Jeje setiap saat.
“Neng, lagi apa ngelamun terus? Nanti kemasukan setan loh,” tanya Saputro.
“Enggak apa-apa, asal setannya bukan kamu,” jawab Jeje dengan muka kesalnya.
“Yeee… masa aku disamain sih sama setan. Parah banget deh kamu,” imbuhnya.
“Aku mah bingung ya sama anak zaman sekarang. Jarang banget gitu yang bisa pake Bahasa Kromo. Pengin banget deh ngerubah pola pikir mereka” tanya Jeje.
“Ya, memang benar sih, Je. Kebanyakan anak zaman sekarang tuh begitu. Kalau bisa berbahasa Kromo, bukan berarti akan ninggalin bahasa Indonesia juga, kan?” terang Saputro. “Eh… negomong-ngomong kebanyakan teman kita yang bisa Bahasa Kromo itu anak kabupaten, ya. Enggak semuanya sih, tapi memang begitu kenyataannya,” imbuhnya.
“Coba aja ada aplikasi Bahasa Kromo, ya. Mungkin bisa mempermudah anak muda zaman now ini untuk mempelajarinya. Kamu itu kan udah sedikit memahami, ayo dong berbagi ilmu sama teman-teman cowokmu! Jadi kita sama-sama berjuang bareng, gitu. Hehehe…” pinta Saputro sembari menggodanya.
“Apa? Berjuang bareng kamu? Sono sendirian aja!” ketus Jeje.
“Aku punya ide tau. Gimana kalau kita menulis buku? Kamu juga kan udah pandai tuh dalam tulis-menulis, makanya dikembangin terus, jangan berhenti berkarya. Katanya, mau merobak dunia ini,” sindir Saputro.
“Huft… Jeje kan lagi serius, Sap. Tau ah,” sergah Jeje. “Hmmm… ngomong-ngomong kamu tuh kadang punya ide bagus, ya. Jadi, kita mau ngebikin buku tentang pentingnya Bahasa Kromo ya, Sap?” tanya Jeje menegaskan.
“Nah, itu loh yang aku mau. Aku punya banyak kenalan penerbit buku gitu. Ya, meski belum sepenuhnya best seller tapi paling enggak bukan abal-abal, kan?” tegas Saputro.
***
Sepulang sekolah, tiba-tiba Zika mengajaknya untuk mengambil sesuatu di rumah teman ibunya.
“Eh… bentar deh, Je. Ikut aku yuk, ngambil sarung di rumah teman ibuku. Kebetulan dekat juga kok dari rumahmu. Mau enggak?” ajak Zika.
“Ya udah deh, ayo!”
Lantas mereka berdua bergegas menuju rumah kecil itu. Sesampainya didepan rumah, Zika pun mengetok pintu. “Assalamu’alaikum!” teriak Zika dengan suara lantangnya.
“Wa’alaikumussalam, sinten nggih?” tanya penghuni rumah.
Zika pun kaget dan bingung mendengar ucapan perempuan paruh baya yang berada di hadapannya. Zika memang sangat buta dengan Bahasa Kromo. Sontak, Jeje-lah yang menjawabnya. Jeje menyampaikan bahwa tujuan mereka datang untuk mengambil sarung.
Sesaat kemudian si penjual sarung tersebut berkata, “Jarang sekali ya, anak muda sekarang yang tau Bahasa Kromo. Eh…. maaf, ini Mbak sarung pesanan ibumu.”
“Ya, Bu. Oya, ini uangnya. Terima kasih ya, Bu,” jawab Zika penuh malu. Zika pamit ya, Bu,” imbuhnya.
***
Kebanyakan anak muda sekarang memang kurang memiliki etika dan sopan santun dalam berbahasa, terutama yang benar-benar dijunjung tinggi oleh kultur masyarakat Jawa. Bahasa Kromo seakan menjadi barang langka, semakin sukar ditemui ditengah-tengah hiruk-piruk kehidupan masyarakat modern. Kelompok manusia yang mendaku sebagai generasi pemilik peradaban yang tinggi. Namun sayangnya, kering akan nilai-nilai kearifan budaya lokal.
Moral dunia ini semakin menipis
Bukan dari luar namun dari dalam
Oh… generasi penerus
Yang katanya harapan bangsa
Masihkah engkau ingat dengan kearifan budaya lokal bangsamu?
Begitulah kebiasaan Jeje, selalu bermain dengan penanya, dan ditulis pada sekumpulan kertas yang nyaris penuh dengan tintanya.
***
“Je, ayo mau mulai kapan? Kemarin, Mas Imam menanyaiku. Katanya, kapan mau menyerahkan naskah buku yang kita rencanakan? Biar cepat diedit dan dibikinin layout-nya. Makannya aku buru-buru kesini, kan?” desak Saputro sambil meyakinkannya.
“Ya udah ayo mulai menulis. Kita bikin peta konsep dan outline-nya dulu bareng-bareng. Nanti kita bagi, aku bagian awal, nah kamu bagian akhir. Gimana setuju, kan? Kebetulan aku juga udah punya kumpulan tulisan tentang pentingnya Bahasa Kromo,” terang Jeje dengan penuh keyakinan.
“Oya, Mas Imam juga bilang, kita harus bikin tim. Biar kerjanya cepat. Urusan itu, aku aja yang atur semua,” imbuh Saputro.
Lantas Saputro bergegas menuju kantor tempat kerja Mas Imam untuk mendiskusikan hal tersebut. “Mas, ini file naskahnya Jeje, baru setengah jadi,” kata Saputro sambil menyodorkan sebuah flashdisk warna putih. “Barangkali mau dilihat dulu,” imbuhnya sembari berlalu.
***
Tujuh hari lama sudah berlalu. Namun Saputro dan Jeje tak kunjung juga dapat kabar dari Mas Imam, sang editor naskah.
“Kring… kring… kring…” suara handphone Saputro berdering. “Semoga ada kabar baik dari Mas Imam ya, Je,” ucapnya kepada Jeje.
Tak disangka, ternyata telepon tadi dari Zani, kakaknya Jeje. Ia mengabari bahwa ibunya mendadak masuk rumah sakit. Penyakit yang dideritanya kambuh lagi.
***
Hari ke hari berlalu, pekan ke pekan terlewati. Jeje kian gelisah dan tak menentu arah. Penyakit ibunya tak kunjung membaik. Berbagai upaya telah dilakukan, namun mereka terkendala biaya. Bapak Jeje sudah tiada, hanya Mas Zani-lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Semakin hari semakin menjadi, Jeje dirundung kesedihan yang mendalam, seakan tak mampu lagi untuk bangkit. Dalam benak, hampir saja ia memutuskan untuk berhenti menulis buku yang sudah direncanakan.
“Bagaimana mungkin aku bisa bertahan, Tuhan? Ingin sekali rasanya menyudahi menulis buku ini. Waktu begitu menyita kebahagiaan orang tuaku bersama keluarga kecilnya. Karena sejak itulah, aku sering pulang sore dan jarang memperhatikan ibuku sendiri,” gumamnya dengan mata yang berkaca-kaca seakan ada sebuah penyesalan yang begitu dalam.
“Ampun, Dik. Jeje ampun ngendika kados niku, sampun takdire Gusti Allah,” terang Zani menguatkan. “Ampun mandheg nulis nggih, Dik,” pintanya.
“Astaghfirullah, nanging… Mas,” kata Jeje lirih diiringi dengan air mata yang menetes pada pipi tembamnya, dan dibalutkan rasa kecewa yang amat besar.
***
Saputro hendak memberi kabar bahagia kepada Jeje, tapi belum saatnya. Hari demi hari, pekan demi pekan Saputro menunggu kabarnya. Ia sadar bahwa Jeje butuh waktu untuk sendiri, dan untuk memikirkan siapa jati dirinya
Pagi ini, mentari pagi begitu indah, menyelinap diantara dedauanan yang berembun, dan tak lupa menyinari segenap isi semesta. Ya, bak wajah Jeje yang begitu semringah menyambut kepulangan ibunya dari rumah sakit. Ucapan syurkur tiada henti keluar dari hati dan lisannya.
“Terusaken, Nduk,” pinta Kulsum yang mengetahui bahwa anak perempuannya sedang proses menulis buku, dan punya mimpi besar menjadi seorang penulis hebat.
“Nggih, Bu,” jawabnya seraya mengangguk. “Duh, Saputro sampun dangu mboten wonten pirengan,” celetuknya.
***
Suatu sore, Saputro bertemu Jeje di tempat yang biasa mereka kunjungi. “Je, kados pundi ibu sampun kondur?” tanya Saputro dengan raut wajah penasarannya.
“Alhamdulillah, sampun kondur,” jawabnya. “Hmmm… Jeje nyuwun pangapuntene nggih, Sap, sampun dangu mbonten wonten pirengan,” ucapnya memelas.
“Nggih, Je. Kula nggih sampun ngertos. Mas Zani sanjang datheng kula,” tegas Saputro.
Tersadar mereka masih dalam posisi berdiri, Saputro pun meminta Jeje untuk duduk. Menulislah, maka engkau akan ditulis sejarah, begitu kata Saputro sembari membuang wajahnya. “Ambillah pena dan kertas, teruslah menulis, Je!” pintanya pada Jeje.
“Je, ngomong-ngomong naskahmu cuma sedikit lho yang perlu direvisi. Gitu kata Mas Imam. Nah, giliran naskahku buanyak banget,” jelas Saputro.
“Terus… terus… terus gimana, Sap? Naskah kita enggak jadi terbit? Gagal apa ditolak?” tanyanya dengan raut wajah penasaran, bak detektif yang menghujani jutaan pertanyaan.
“Hmmm… gimana ya. Begiini lho, alhamdulillah naskah kita besok akan terbit, Je,” jawab Saputro lirih.
***
Buku “Kromo yang Hilang” secara resmi telah terbit. Syukur tiada henti terucap dalam hati dan lisan Jeje. Karya pertama yang bukan hanya sekadar tentang angka yang mati, tapi tentang mimpi yang terbeli, tentang ketidakmungkinan yang terjadi, atau mungkin tentang siapa sejatinya jati diri ini.
“Semoga buku kecil ini mampu menginspirasi,” harap Jeje lirih.
Ketenteraman jiwa memuncak ketika syukur selalu tergores dalam benak, memunculkan keyakinan yang begitu mendalam akan sebuah karunia-Nya.
***
***Ditulis oleh Dwi Mamduh Haiati, Kelas XII IIK
***Cerpen ini masuk nominasi 20 cerpen favorit dan sudah dibukukan dengan judul “Membaca Metafora”